Otong Bontot AR
Monday, 15 July 2024
KOLEKSI JENIS AVES DI KEBUN BINATANG BANDUNG PART 1
Sunday, 1 January 2023
BATIK PESISIR, KELUWESAN DAN TOLERANSI
Sebelumnya dalam Blog ini penulis sempat membahas terkait Filosofi
Batik Cirebon. Pembahasan tersebut meliputi teknik pembuatan batik, ragam corak
batik serta sedikit membahas terkait jenis batik keraton dan pesisir. Karena
pembahasannya belum mendalam, kali ini akan dipaparkan terkait batik pesisir.
Secara garis besar pengelompokan batik terbagi menjadi dua
kelompok yaitu batik keraton dan batik pesisir. Batik keraton merupakan
merupakan motif batik yang tercipta atau dibuat dalam lingkungan keraton. Motif
ini memiliki pakem serta memiliki arti/ makna filosofis pada
setiap motifnya. Sedangkan batik pesisir merupakan motif batik yang terlahir atau
tercipta di luar lingkungan keraton. Motif ini memiliki warna yang lebih cerah
serta motif yang sangat beragam. Motif ini sangat luwes serta kurang memiliki
makna atau filosofis.
Dalam perkembangannya Batik Pesisir sangat berkembang dan melesat,
hal ini dikarenakan keluwesannya serta mengakibatkan macam yang
beragam. Batik pesisir sifatnya komersil, lebih gaya, dan dipakai
sehari-hari oleh rakyat dari segala kalangan, segala usia. Variasinya lebih
banyak dari segi warna maupun motif, hasil pengaruh asing yang dibawa para
pedagang asing zaman dulu. Penulis mencoba untuk memetakan macam Batik
Pesisir berdasarkan motif dan corak khas serta letak geografisnya. Macam dari
Batik pesisir ini diantaranya: Batik Cirebon dan Indramayu, Batik Pekalongan, Batik
Lasem, dan Batik madura.
1. Batik Cirebon dan
Indramayu
Sama
halnya dengan perkembangan batik di Indonesia, perkembangan batik Cirebon di
inisiasi oleh keluarga lingkungan keraton. Keraton-keraton yang ada di Cirebon
meliputi keraton Kasepuhan, Kanoman, Keprabon dan Cirebon. Sejarah batik di
Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual
religious. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam di
Cirebon sekitar abad ke-16. Sejarah batik Cirebon dimulai ketika pelabuhan
Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Tiongkok,
Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam
budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon. Batik
Pesisir Cirebon sangat pesat berkembang tentunya diluar lingkungan keraton, dan
saat ini masih lestari khususnya di daerah Trusmi. motif yang berkembang dalam
batik cirebon diantaranya meliputi fauna dan flora seperti kupu-kupu, burung
gelatik, serta ragam bunga. Sedangkan Batik Indramayu berkembang di daerah
Paoman, motif yang khas dari indramayu adalah motif ikan serta fauna yang
tersebar di kali cimanuk, serta untuk floranya sendiri banyak yang
menggambarkan flora khas indramayu seperti mangrove.
2. Batik Pekalongan
Tidak heran jika kota Pekalongan dikenal dengan kota Batik. Hal tersebut layak disematkan karena konsistensinya dalam memproduksi batik, batik pekalongan tetap eksis dengan kekhasannya. Salah satu yang menjadi khas dari batik pekalongan adalah batik peranakannya dengan motif flora yang indah salah satunya adalah motif Buketan. Motif ini sering dikenakan dengan paduan kebaya encim yang memang banyak dikenakan dan khas peranakan Cina Indonesia. Salah satu Mastro Batik yang dan prestige adalah Oey Soe Tjoen (OST). Batik ini sangat indah dan detailnya rapih dengan gebyar warna yang khas.
3. Batik LasemLasem merupakan salah satu kota kecil di Jawa Tengah di Kabupaten Rembang. Batik yang terkenal dari Lasem ini adalah Batik 3 Negeri. Batik 3 Negeri merupakan hasil akulturasi dari 3 budaya besar yaitu budaya Tionghoa yang disiratkan dengan warna merah, budaya Eropa yang disiratkan dengan warna biru indigo dan budaya Jawa yang disiratkan dengan warna coklat sogan. Paduan 3 warna yang menggambarkan akulturasi 3 budaya ini dengan motif yang khas membentuk Batik yang dikenal dengan batik Lasem.
Batik Pesisir dengan ragam warna dan motif akan selalu lestari, dengan luwesnya motif, dan beragamnya akulturasi budaya, menjadikan Batik Pesisir terlihat indah dan menawan.
Tuesday, 1 November 2022
ANALISIS KOMPETENSI MATERI PERUBAHAN EKOSISTEM
Materi pencemaran merupakan sub bab dari
materi perubahan ekosistem dalam kurikulum KTSP. Ekosistem terbentuk dari dua
komponen yaitu factor biotic dan factor abiotik. Komponen abiotik suatu
ekosistem merupakan keadaan fisik dan kimia yang menyertai kehidupanorganisme
sebagai medium dan substrat kehidupan. Komponen ini terdiri atas tanah, air,
udara, topografi,,iklim, dll. Sedangkan komponen biotic merupakan komponen yang
terdiri dari organism atau makhluk hidup. Hubungan antara dua komponen tersebut
saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya keduanya memiliki
hubungan timbal balik. Saling keterkaitan tersebut akan menciptakan lingkungan
yang seimbang yaitu lingkungan yang
dapat menjamin kelangsungan sistem ekologi. Apabila terjadi perubahan dengan
sendirinya akan membentuk keseimbangan baru dengan proporsional sesuai dengan
perubahan itu. Hal ini dapat terjadi selama perubahan itu masih berada dalam
daya dukung. Namun, bila perubahan ekosistem menyebabkan suatu komponen tidak
berfungsi maka aliran energy dan daur materi akan terganggu, yang pada akhirnya
akan mempengaruhi semua komponen ekosistem lainnya.
Factor-faktor yang menyebabkan gangguan
keseimbangan lingkungan adalah bisa disebabkan oleh factor alam dan factor
manusia. Factor alami yang menyebabkan perubahan keseimbangan lingkungan adalah
letusan gunung berapi, tanah longsor, kebakaran hutan, tsunami, yang dapat
menyebabkan terputusnya rantai makanan yang menunjukan bahwa keseimbangan
lingkungan sudah terganggu.
Sedangkan factor manusia maksudnya adalah
manusia yang merupakan komponen biotic yang mempunyai pengaruh ekologi terkuat
di biosfer bumi ini. Dengan kemampuannya mengembangkan ilmu dan teknologi
manusia memiliki pengaruh yang sangat besar baik pengaruh yang memusnahkan
ekosistem atau melestarikan ekosistem. Contoh akibat aktifitas manusia yang
dapat menyebabkan perubahan lingkungan adalah pencemaran lingkungan.
Pencemaran lingkungan berdasarkan media
tercemarnya dibedakan menjadi pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran
tanah.
Pencemaran air terjadi karena masuknya
zat-zat yang mengakibatkan kualitas air menurun. Hal ini dapat terjadi pada
sumber mata air, sungai, waduk, dan air laut. Menurut jenis bahan pencemar air
(polutan) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pencemaran biologi dan pencemaran
kimia.
Salah satu zat polutan yang menyebabkan
pencemaran kimia adalah detergen. Detergen merupakan bahan pembersih sintetis
berupa senyawa kimia alkyl benzene sulfonat (ABS) yang biasanya digunakan
sebagai bahan pembersih. Selain itu juga detergen ini mengandung zat surfaktan
(surface active agent) yang merupaka n zat aktif molekul organic dengan bagian lifofilik dan
bagian polar, yang berfungsi menurunkan tegangan permukaaan air. Senyawa
polutan detergen ini dapat menghasilkan
busa-busa di permukaan badan airnya sehingga dapat menyebabkan kontak
udara dan air terbatas sehingga menurunkan kadar oksigen terlarut. Dengan demikian organism air kekurangan
oksigen dan dapat menyebabkan kematian.
Thursday, 20 January 2022
Kecerdasan Emosional/ Emotional Quotient (EQ)
Mayer
dan Salovey dalam Yahaya (2012) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai
kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk mengendalikan emosi diri dan emosi
terhadap orang lain. Menurut mereka, kecerdasan emosional dapat dikategorikan
ke dalam lima aspek, yaitu: kesadaran diri, mengatur emosi, motivasi diri,
empati dan kemampuan interpersonal.
1.
Kesadaran diri dan
mengetahui emosi diri sendiri serta dapat mengidentifikasi emosi ketika emosi
tersebut muncul. Kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu
terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli
psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran
seseorang akan emosinya sendiri. Mayer dalam Goleman (2002) menyatakan bahwa
kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang
suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam
aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk
mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
2.
Mengatur emosi adalah
menjaga dan menangani emosi diri. Menurut Goleman (2002) mengatur emosi
merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap
dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.
Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan
mempengaruhi kestabilan kita.
3.
Motivasi diri adalah
langkah untuk menggunakan emosi positif dalam mencapai tujuan. Kemampuan ini
mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta
kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan), memotivasi diri
sendiri (prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri
individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan
dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang
positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri)
4.
Empati adalah sensitif
terhadap perasaan orang lain, peduli dan menerima perspektif mereka dan
menghargai perbedaan yang ada dalam perasaan orang lain. Goleman (2002)
mengatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan
kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu
menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa
yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan
orang lain.
5.
Keterampilan
interpersonal dapat mengontrol emosi orang lain, memiliki kompetensi dan
keterampilan sosial. Kemampuan ini merupakan suatu keterampilan yang menunjang
popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002).
Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan
membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan
sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Kemudian,
Mayer dan Salovey (1997) menyempurnakan definisi kecerdasan emosional sebagai
kemampuan untuk mendeteksi emosi, untuk menggunakan dan menciptakan emosi dalam
berpikir, memahami emosi dan mengakuisisi pengetahuan mengenai emosi, dan
selalu berpikir untuk mengendalikan emosi. Menurut Salovey & Mayer (1990)
bahwa emosi membuat berpikir cerdas. Selanjutnya, Mayer et al. (2008) menyatakan bahwa beberapa individu memiliki kapasitas
yang lebih besar daripada yang lain untuk melaksanakan pengolahan emosi dan
mengatur rangsangan emosi, dan menggunakan informasi ini sebagai dasar untuk
berpikir dan perilaku. Berdasarkan pernyataan tersebut, tampak bahwa individu
dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, yang mampu memperhatikan, menggunakan,
memahami, dan mengelola emosi dengan baik, akan berpotensi dapat beradaptasi
dengan lingkungan dan orang lain secara baik.
Goleman
(2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang
mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life
with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the
appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan
kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan
sosial. Kecerdasan emosional bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan
untuk berkuasa atau memanjakan perasaan, melainkan mengelola perasaan
sedemikian sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan
orang ketiga sama dengan orang lain secara lancar menuju tujuan bersama. Dapat
disimpulkan bahwa kecerdasan emosional meliputi kecerdasan interpersonal
(kecerdasan pribadi) dan intrapersonal (kecerdasan sosial) yang
berfungsi sebagai tali pengendali untuk menyeimbangkan perasaan, pikiran serta
tindakan, meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan
keterampilan sosial.
Kecerdasan
emosional menjadi populer dalam pembahasan Daniel Goleman di tahun 1995. Ia
percaya bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh kuat dalam IQ (Yahaya,
2012). Goleman (2000) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya
menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor
kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau emotional
quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi,
mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta
kemampuan bekerja sama. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan
oleh Durgut et al. (2013) bahwa ada
hubungan positif antara kecerdasan emosional dan prestasi akademi. Menurut Epstein dan Le Doux dalam Nwadinigne
& Azuka (2012), mengatakan bahwa kedua domain, baik itu domain kognitif
maupun domain emosional siswa perlu diperhatikan dan dikembangkan dalam
akademik dan harus menjadi tujuan utama untuk mendidik siswa.
Kecerdasan emosional ini sangat diperlukan oleh siswa baik itu untuk belajar, berinteraksi dan berkomunikasi tidak hanya dengan guru mereka, tetapi juga dengan teman sekelas. Pada fenomena sehari-hari, kecerdasan emosi dianggap menjadi kemampuan yang membantu seseorang mengartikan dan menanggapi emosi yang berbeda dialami oleh seseorang setiap harinya. Menurut Nelson dan Rendah dalam Rowelie et al. (2015) siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah akan mengalami beberapa tantangan dalam penyesuaian diri atau akan sulit untuk menangani secara efektif tuntutan tugas-tugas di sekolah, maka siswa tersebut mungkin tidak akan mampu mencapai tujuan pribadi yang meliputi prestasi akademik yang tinggi. Dengan demikian, untuk menghasilkan generasi yang kompeten dan sukses sejalan dengan filsafat pendidikan, memperhatikan kecerdasan emosional siswa adalah sesuatu hal yang penting.
disusun oleh : Febblina Daryanes
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L. W. & Krathwohl. (2010). Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arends, R. (2008). Learning to Teach.
Penerjemah: Helly Prajitno & Sri Mulyani. New York: McGraw Hill Company.
Bilgin, I., Senocak, E., Sozbilir, M.
(2009). The Effects of Problem-Based Learning Instruction on University
students Performance of Conceptual and Quatitative Problem in Gas Concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science
& Technology Education, Vol. 5, No. 2, 153-164.
Campbell, N, A., Reece, J, B., Mitchell,
L, G. (2004). Biologi Edisi Kelima Jilid
3. Erlangga. Jakarta.
Costa, A. L. (1991). The search for
intelligent life. In A. Costa (Ed.), The school as a home for the mind (pp.
19–31). Palatine, IL: Skylight Training and Publishing.
Costa,
A. L., & Kallick, B. (2000). Assesing
and reporting on habits of Mind. Alexandria: Association for Supervision
and Curriculum Development (ASCD).
Costa, A. L. & Kallick, B.
(2008). Learning and Leading with Habits of Mind : 16 Essential
Characteristics for Succes. Alexandria, VA. [Online]. Diakses 1 November
2015.
Dahar, R.,W. (2003). Teori-Teori
Belajar. Jakarta: Gelora
Aksara Prima
Duch, J.
B. (2001). The Power of Problem Based
Learning. Virginia: Streling.
Durgut,
M., Gerekan, B., Pehlivasn, A. (2013). The Impact of Emotional Intelligence on
the Achievement of Accounting Subject. International
Journal of Business and Social Science Vol. 4 No. 13
Etherington,
M., B. (2011). Investigative Primary Science: A Problem-based Learning
Approach. Australian Journal of Teacher
Education. Vol. 36, No. 9, 53-74.
Evans, P.
(2009). Is There a Link Between Problem Based Learning and Emotional
Intelligence?. Kathmandu University
Medical Journal, Vol. 7, No. 1, Issue 25, 4-7
Fraenkel
& Wallen. (2012). How to Design and
Evaluate research in education. New York: Mc Graw Hill.
Gamze, Serap, Mehmet. (2013). A Comparison of Achievement In Problem-Based, Strategic And Traditional
Learning Classes In Physics. International
Journal on New Trends in Education and Their Implications, vol 4, No. 1,
154-164.
Goleman.
(2000). Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Goleman.
(2002). Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih
Penting Daripada IQ). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Haka,
N. B. (2013). Pengaruh Asesmen Kinerja untuk Meningkatkan Habits of
Mind dan Penguasaan Konsep Siswa Kelas XI. (Tesis). Sekolah Pascasarjana,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Hartman,
K. B., Moberg, C. R., Lambert, J.M. (2012). Effectiveness of Problem-Based
Learning in Introductory Business Courses. Journal
of Instructional Pedagogies, 1-13.
Hosnan.
(2014). Pendekatan Saintifik dan
Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia
Idris,
T. (2013). Penerapan Asesmen Portofolio
untuk Meningkatkan Habits of Mind dan Penguasaan Konsep Siswa Kelas XI.
(Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Johnson,
B., & Ritledge, M. (2005). Habits of
mind: a curriculum for community high school of vermont students. Vermont:
Vermont Consultant for Language and Learning
Kurniawan,
I. S. (2015). Implementasi Problem Based
Learning Open Ended dalam Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir
Kritis Siswa pada Materi Sistem Sirkulasi pada Sekolah di Perkotaan dan
Pedesaan. (Tesis). Sekolah Pascasarjana,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Lambors, A. (2004). Problem Based Learning in Middle and High
School Classroom. California : Corwin Press A Sage Publications Company.
Isfiani, I. R. (2014). Analisis
Hubungan Antara Habits of Mind, Tingkat Kecemasan Kognitif, dan Hasil Belajar
Biologi Pada Siswa Kelas XI SMA Kota Bandung.
Sekolah Pascasarjana UPI. Tesis. Tidak diterbitkan.
Mahardi,
A., dan Sumarmo, U. (2011). Pengaruh strategi Mathematical Habits of Mind (MHM)
Berbasis Masalah terhadap Kreatifitas Siswa. Jurnal Cakrawala Pendidikan 30, (2), 216-229.
Marzano,
R.J., (1994). Assesing students outcomes;
performance assessment using the dimensions of learning model. Alexandria,
Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum Development.
Marzano,
R.J. (1997) Dimensions of learning
trainer’s manual. Alexandria, Virginia USA: Mid-continent Regonal
Educational Laboratory
Mayer, J.D. and Salovey, P. (1997).
What is emotional intelligence? In Salovey, P and Sluyter,C.Emotional
development and emotional intelligence: Implication for educator. New
York:Basic.
Mayer, J.D., Salovey, P., Caruso,
D.R. (2008). Emotional Intelligence: New Ability or Eclectic Traits? American
Psychologist, Vol. 63, No. 6, pg 503–517.
Meltzer D.
E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual
Learning Gain in Physic: A Possible Hidden Variable in Diagnostic Scores. American Journal Physic. 70 (2),
1259-1267.
Nurmaulita.
(2014). Pembentukan Habits of Mind Siswa Melalui Pembelajaran Salingtemas Pada
Matapelajaran Fisika. Jurnal Online
Pendidikan Fisika, Vol. 3, No. 2.
Nwadinigwe,
I.P & Azuka-Obieke, U. (2012). The Impact of Emotional Intelligence on
Academic Achievement of Senior Secondary School Students in Lagos, Nigeria. Journal of Emerging Trends in Educational
Research and Policy Studies (JETERAPS) 3(4): 395-401 (ISSN: 2141-6990)
.
Purtadi, S & Sari, L. P.
(2005). Metode Belajar Berbasis Masalah
(Problem Based Learning) Berbantu Diagram Vee dalam Pembelajaran Kimia.Yogyakarta:
Makalah Seminar Nasional MIPA Yogyakarta.
Purwanto, M. N. (2009). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi
Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rafaei, W. (1998). Menaging
Studuent Intake At Graduate Level, Paper presented at the Third Annual
Asian Academy for Management Conference 16-17 July 1998 at Kuala Terengganu.
Rakhmawati,
I. (2013). Penerapan Asesmen Portofolio
Elektronik untuk Meningkatkan Habits of Mind dan Penguasaan Konsep Mahasiswa
Pendidikan Biologi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Risnanosanti. (2011). Peranan Habits of Mind dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematis
Tingkat Tinggi. Lampung: Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan MIPA
UNILA.
Rustaman, N., Y. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi.
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Rowelie, M., Cristelle, P.A.,
Lorraine, S., Katherine, T. (2015). Predictive
Ability of Emotional Intelligence and Adversity Quotient on Academic
Performance of USC College Students. Cebu City, Philippines
Salovey, P. & Mayer, J. D. (1990). Emotional Intelligence. Baywood Publishing Co. Inc.
Simone,
C., D. (2014). Problem-Based Learning in Teacher Education: Trajectories of
Change. International Journal of
Humanities and Social Science, Vol 4, No. 12, 11-29.
Sriyati, S. (2011). Penerapan
Asesmen Formatif Untuk Membentuk Habits of Mind Mahasiswa Biologi. Sekolah
Pascasarjana UPI Bandung. Disertasi. Tidak diterbitkan.
Sudijono,
A. (2009). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers
Sugiyono.
(2014). Metode Penelitian Kombinasi
(Mixed Methods). Bandung. Alfabeta
Sumaya.
(2004). Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran Pakem. [Online] Tersedia: http://www.google.co.id/#hl=id&q=Penguasaan+konsep.html
Tishman,
S., & Perkins, D. (1997). The language of thinking. Phi Delta Kappan 78(5),
368–374
Trianto. (2011). Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Wollfold, A., E & Nicolish, L.,
M. (2004). Mengembangkan Kepribadian dan Kecerdasan Anak-anak (Psikologi
Pembelajaran I). Jakarta: Inisiasi Press.
Yahaya, A., Ng Sar Ee, Bachok, J.
D., Yahaya, N., Boon, Y. (2012). The Impact of Emotional Intelligence Element
on Academic Achievement. Archives Des Sciences (65), 4
Monday, 13 December 2021
Buah Lerak Sejarah dan Pemanfaatannya
Alam
menyimpan sejuta potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup
manusia. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang saat ini, tidak
menutup kemungkinan potensi alam tersebut dapat dieksploitasi dengan lebih baik,
meskipun tidak menampik fakta bahwa tradisi leluhur terkadang masih bersifat tepat
guna dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan keefektifannya. Artinya,
tradisi tersebut masih relevan dengan perkembangan zaman sehingga keberadaannya
tetap dipertahankan hingga kini. Menurut Keraf
(2002), semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan,
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan
di dalam komunitas ekologi disebut kearifan tradisional yang harus terus digali
dan dikembangkan agar kelestariannya tetap terjaga. Adapun menurut Moendardjito
dalam Fatmawati (2014), tradisi dapat berkembang menjadi kearifan tradisional
apabila mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar
ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah
pada perkembangan budaya.
Salah
satu bentuk kearifan tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat adalah
penggunaan lerak sebagai sabun tradisional. Masyarakat jawa sudah lama
memanfaatkan buah ini untuk digunakan sebagai sabun tradisional. Pada zaman
dulu buah ini sering dimanfaatkan untuk mencuci berbagai benda yang terbuat
dari logam seperti keris dan benda lainnya, selain benda logam buah ini juga
sering digunakan untuk mencuci benda yang terbuat dari kain seperti batik.
Salah
satu tradisi yang melibatkan penggunaan buah lerak adalah mewarangi dan
memandikan keris. Beberapa keris yang memiliki nilai historis dan spiritual
yang tinggi dalam proses memandikan dan mewarangi harus pada waktu-waktu
tertentu. Seperti keris pusaka yang ada dikeraton Surakarta dan jogja biasanya
prosesi ini dilakukan setiap bulan suro (Muharam). Dalam pelaksanaan prosesi
ini selain buah lerak bahan-bahan yang digunakan semuanya bahan alam seperti
air kelapa hijau (digunakan untuk merendam keris), jeruk nipis digunakan dalam
proses mutihke (penggosokan bilah keris), marangi (pengolesan keris dengan
menggunakan cairan warangan), minyak alami digunakan untuk proses minyaki
(terbuat dari minyak tumbuhan, seperti akar wangi, gaharu, melati cendana).
Salah satu prosesi pencucian pusaka yang sampai sekarang bertahan tradisi dan
ritualnya adalah ritual jamasan.
Klasifikasi tumbuhan lerak adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta,
Sub Divisi : Angiospermae,
Kelas : Dicotyledone,
Ordo : Sapindales,
Famili : Sapindaceae,
Genus : Sapindus,
Spesies : Sapindus rarak DC
Di Jawa tanaman ini tumbuh liar, tinggi tanaman dapat mencapai 42 m dan mempunyai diameter batang 1 m. Tanaman ini mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Palembang disebut lamuran, di Jawa lerak dan di Jawa Barat sering disebut rerek. Lerak biasa tumbuh liar di hutan dengan tinggi 15 - 42 m dengan diameter batang 1 m dan tumbuh rindang, bentuk. Tanaman ini mempunyai bunga majemuk tidak terbatas (inflorescentia centripetala) dimana bunga mekar dari bawah ke atas sehingga berbentuk tandan dengan tangkai bunga tumbuh dari ujung batang.
Buah lerak merupakan buah tunggal berbentuk bulat dengan diameter 2 cm,biji dilindungi oleh kulit biji dengan warna kulit biji berwarna hijau, bila telah masak berwarna cokelat bila dikeringkan berwarna hitam. Biji bersama kulitnya bila direndam akan mengeluarkan busa arena kulit biji banyak mengandung saponin (28%), sehingga dapat digunakan dalam pembuatan sabun, obat cuci rambut dan berbagai alat kosmetika. Lingkungan tumbuh Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi, berdrainase baik, subur dan mengandung banyak humus.
Lerak tumbuh pada ketinggian di bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik pada daerah berbukit dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah hujan rata-rata 1.250 mm/tahun. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone,berakar tunggang dengan perakaran yang kompak. Oleh karena itu tanaman ini dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan penahan angin, sebagai tanaman pekarangan yang agak jauh dari rumah. Tanaman mulai berbuah pada umur 5 - 15 tahun, musim berbuah pada awal musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000 - 1.500 biji.
Tanaman lerak mempunyai bentuk daun majemuk, menyirip ganjil anak daun bentuk lanset (lanceolatus), bentuk ujung daun runcing, pangkal daun tumpul, tepi rata, dengan panjang 5 - 18 cm, lebar 2,5 - 3,0 cm, bertangkai pendek dan berwarna hijau. Lerak menghasilkan bunga dan buah yang tumbuh langsung dari kuncup dorman pada batang utama atau cabang utama. Bunga lerak berbentuk tandan (racemes), bunga majemuk, mahkota bentuk periuk (hypanthodium), warna kuning keputihan, mahkota empat dan kelopak lima. Penyebaran Tanaman lerak tersebar di berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat di beberapa jurnal menyebutkan bahwa buah, kulit batang, biji, dan daun tanaman lerak mengandung polifenol, dan tanin. Menurut Widowati (2003) dalam Syahroni (2013), saponin terdapat pada semua bagian tanaman Sapindus dengan kandungan tertinggi terdapat pada bagian buah. Adapun persentase senyawa aktif pada buah lerak adalah sebagai berikut :
No |
Senyawa aktif |
Persentase senyawa aktif |
1 |
Saponin |
12 % |
2 |
Alkaloid |
1 % |
3 |
Ateroid |
0.036 % |
4 |
Triterpen |
0.029 % |
Saponin berasal dari bahasa latin Sapo yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai soapberry atau soapnut. Saponin memiliki sifat berasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan, siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
Menurut Sukmasari (2006), saponin temasuk glikosida yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan sakarida (bersifat hidrofilik) dan sapogenin (bersifat lipofilik). Sapogenin terdiri dari dua golongan saponin steroid dan saponin triterpenoid. Adanya kandungan saponin yang bersifat hidrofilik dan lipofilik tersebut menjadikan buah lerak bersifat surfaktan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku sabun.
PERANAN dan DAMPAK PEMANFAATAN BUAH LERAK TERHADAP LINGKUNGAN
Sudah
dijelaskan sebelumnya bahwasannya pemanfaatan buah lerak merupakan suatu bentuk
kearifan local yang sudah diterapkan sejak jaman dulu. Namun, kebiasaan mencuci
dengan menggunakan buah lerak lambat laun berkurang dan mulai ditinggalkan, hal
ini disebabkan adanya detergen yang disinyalir fungsinya sama dengan buah lerak
serta lebih praktis dalam pemakaiannya.
Detergen
merupakan limbah pemukiman yang paling potensial mencemari air. Limbah detergen
ini sangat susah diuraikan oleh bakteri, sehingga limbah ini akan tetap ada
untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan detergen secara besar-besaran dapat
meningkatkan senyawa posfat pada air sungai dan sumber yang tercemarinya. Senyawa
fosfat ini dapat merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan
tanaman tersebut tanpa terkendali dapat mengakibatkan sungai atau sumber air
tersebut tertutupi oleh pertumbuhannya, sehingga dapat menghalangi masuknya
cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis pada
fitoplankton. Jika tumbuhan atau fitoplankton ini mati, akan mengakibatkan
terjadi pembusukan yang menghabiskan persediaan oksigen dalam air.
Berbeda dengan detergen, buah lerak (Sapindus rarak) memiliki sifat ramah lingkungan. Busa/buih yang dihasilkan oleh buah ini berasal dari biji dan buahnya yang mengandung saponin. Saponin dalam buah lerak dapat berfungsi sebagai sabun alami karena ia menghasilkan glikosid yang dapat berbuih dengan indeks busa yang tinggi apabila digoncangkan. Glikosid alami dari saponin dibagi menjadi dua jenis yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Kedua jenis saponin ini mempunyai sifat larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut pada eter. Glikosid triterpenoid alkohol atau saponin triterpernoid alkohol merupakan penyusun utama buah lerak. Saponin pada daging buah lerak yang mempunyai sifat larut pada air dan berbuih tinggi dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai sabun alami tanpa bahan kimia sama sekali.
Zat
saponin ini dapat diuraikan dengan baik oleh mikroorganisme di lingkungan
sehingga tidak mencemari air sungai berbeda dengan detergen, busa pada detergen
memiliki kandungan surfaktan anionic linear alkylbenzene sulfonate (LAS).
Akumulasi konsentrasi LAS yang melampaui ambang batas tersebut bersifat toksik bagi berbagai
organisme akuatik.
Saat
ini penggunaan lerak masih jarang digunakan oleh lapisan masyarakat. Penggunaan
lerak hanya digunakan sebatas pencucian barang-barang tertentu saja seperti kain
batik klasik, perkakas antik yang terbuat dari logam seperti kuningan, tembaga
atau keris. Pemanfaatan lerak sebenarnya dapat digunakan untuk berbagai hal
seperti untuk mencuci pakaian, mencuci barang-barang rumah tangga, mencuci
jendela, mencuci badan dan wajah dan masih banyak lagi pemanfaatannya. Jika
penggunaan pembersih atau sabun yang mengandung detergen diganti dengan sabun
tradisional lerak, limbah domestik yang dihasilkan tentu akan berkurang.
Korelasinya jika limbah domestic berkurang tentu pencemaran air atau sumber air
pun akan berkurang juga.
Pemanfaatan
buah lerak sebagai sabun tradisional ini diharapkan dapat menjadi salah satu
aksi solusi dalam mengatasi masalah pencemaran air. Dengan menggunakan aksi ini
berarti kita ikut serta dalam
menjaga kelestarian lingkungan dan melestarikan tradisi
nenek moyang karena mengembalikan
kebiasaan masyarakat dahulu yang memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai bahan
pencuci alami (back to nature).
DAFTAR PUSTAKA
Agustiningsih,
Dyah, Setiabudi, S. & Sudarno. (2012). Analisis Kualitas Air dan Strategi
Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Jurnal Persipitasi.
9(2), pp. 64-71.
Fatmawati,
Ira. (2012). Efektivitas Buah Lerak (Sapindus
rarak De Candole) Sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, perunggu dan Besi.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. 8(2),
pp.24-31.
Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2010). Status Lingkungan Hidup Indonesia
2010. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Keraf,
S. A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta : Kompas Press.
Rohmat,
Dede. (2010). Upaya Konservasi untuk Kesinambungan Ketersediaan Sumber Daya Air
(Kasus : DAS Citarum). Disajikan pada Talk Show Hari Air “Air untuk Kehidupan
Manusia”, 22 Maret 2010, Mahacita UPI : Bandung.
Syahroni,
Yan Yanuar & Djoko Prijono. (2013). Aktivitas Insektisida Ekstrak Buah Piper aduncum L. (Piperaceae) dan Sapindus rarak (Sapindaceae) serta
Campurannya terhadap Larva Crocidolomia
pavonana (Lepidoptera : Crambidae). Jurnal Entomologi Indonesia. 10(1). Pp. 39-50.
Sukmasari,
May dan Tjitjah Fatimah. (2006). Analisis Kadar Saponin dalam Daun Kumis Kucing
Dengan Menggunakan Metode TLC-Scanner.
Jurnal Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.