Monday, 15 July 2024

KOLEKSI JENIS AVES DI KEBUN BINATANG BANDUNG PART 1

Kebun Binatang merupakan tempat konservasi secara eksitu yang memiliki fungsi untuk rekreasi dan edukasi. keberadaan kebun binatang ini sangat membantu untuk belajar mengenali berbagai macam satwa. Koleksi satwa yang di kebun binatang sangat beragam dengan status mulai dilindungi sangat terancam, hampir punah, dan rentan. Buku koleksi Kebun Binatang ini disusun dengan tujuan memberikan sekilas penjelasan terkait satwa atau binatang yang berada di kebun binatang Bandung.
A. Koleksi Burung

1. Makaw
Klasifikasi  
Kingdom : Animalia 
Phylum    : Chordata 
Ordo        : Psittaciformes 
Family     : Psittacidae 
Genus      : Ara 
Species    : Ara macao 
Nama Lain : Scarlet Macaw (Green Wing Macaw) 
Ciri umum : Burung Macaw berasal dari Amerika Selatan, ciri khas dari burung ini adalah bentuk paruhnya yang kokoh dan bengkok, serta warna bulunya yang cerah. Panjang seluruh tubuhnya adalah antara 80 – 95 cm, dan panjang tubuhnya hanya separoh dari panjang ekornya. Tidak ada perbedaan yang mencolok antara jantan dan betina, yang membedakan adalah Macaw jantan ekornya lebih panjang dari Macaw betina. Warna bulunya didominasi warna merah, sedangkan dibagian matanya berwarna putih. Burung macaw berkembang biak dengan cara bertelur, Macaw betina biasanya mengerami telurnya selama 24 – 25 hari. Setelah menetas anak – anak Macaw akan mendapat perawatan dari kedua induknya sampai usia 2 tahun.  Burung Macaw lebih suka menempati dan tinggal di tebing – tebing dan pohon yang tinggi. Hobinya mengerat benda – benda yang keras dengan menggunakan paruhnya seperti : Kayu, batu dan sebagainya. 

2. Bango Tongtong 
Kingdom : Animalia 
Phylum    : Chordata 
Ordo        : Ciconiiformes 
Family     : Ciconiidae 
Genus      : Leptotiles 
Species    : Leptotiles  javanicus 
Nama Lain : Bango Tongtong 


Ciri umum : Bangau Tongtong adalah spesies burung dari familia bangau atau Ciconiidae. Tersebar di selatan Asia mulai dari India timur sampai pulau Jawa. Tinggi dari burung ini sekitar 110-120 cm, berat 5 kg dan rentang sayap 210 cm. Spesies ini adalah yang terkecil dalam genus Leptoptilos. Rupa burung ini sedikit seram dengan Paruhnya berwarna pucat, panjang dan tebal serta kepala dan lehearnya sedikit botak. Bagian atas tubuh dan sayapnya berwarna hitam, namun perut dan bagian bawah ekor berwarna putih. Burung muda warnanya lebih kusam daripada burung dewasa. Makanan bangau tongtong ini sama seperti jenis-jenis bangau lainnya, memakan kodok, serangga besar, burung kecil, kadal, dan binatang mengerat. 

3. Cangak Merah
Kingdom : Animalia 
Phylum    : Chordata 
Ordo        : Ciconiiformes 
Family     : Ardeidae 
Genus      : Ardea 
Species    : Ardea purpurea 
Nama Lain : Cangak merah 

Cangak merah ini daerah penyebarannya adalah meliputi Afrika, Erasia, Filipina, Sunda Besar. Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara.        Tubuhnya berukuran besar yaitu sekitar80 cm. Warna bulunya abu-abu, coklat, hitam.Topi hitam. Setrip hitam sepanjang leher yang merah-karat. Punggung dan penutup sayap abu-abu, bulu terbang hitam. Iris kuning, paruh coklat, kaki coklat kemerahan. Mengendapendap sendirian di sepanjang perairan dangkal, kepala merendah ke bawah dan ke samping untuk menangkap mangsa. Terbang dengan kepakan berat dan perlahan. Makanan Burung ini adalah ikan, katak, reptil, larva serangga, krustasea. Bersarang soliter atau dalam koloni besar.   Sarang dari tumpukan ranting pada buluh rumput atau pohon kecil diatas air. Berbiak bulan Desember-Maret, Februari-Agustus. Lahan basah tidak terbatas di pesisir, mangrove, sawah, danau, aliran air, kadang perbukitan. Tersebar sampai ketinggian 1.500 m dpl. 

4. Flamingo
Kingdom : Animalia 
Phylum    : Chordata 
Ordo        : Phoenicopteriformes 
Family     : Phoenicopteridae 
Genus      : Phoenicopterus  
Species    : Phoenicopterus roseus 
Nama Lain : Flamingo 

Ciri-ciri umum 
Flamingo seringkali berdiri dengan satu kaki. Alasan mengenai hal ini tidaklah banyak diketahui. Ada yang mengatakan bahwa flamingo memiliki kemampuan untuk membuat setengah bagian tubuhnya berada dalam keadaan tidur dengan posisi sedemikian rupa, namun hal ini belum cukup terbukti. Ada yang mengatakan bahwa posisi berdiri dengan satu kaki untuk menjaga agar kaki tidak basah, dengan maksud mengkonservasi energi. Karena berdiri di atas perairan, flamingo menggunakan kaki berjaring mereka yang juga digunakan untuk mengaduk lumpur demi mencari makanan. Untuk mendapatkan makanan Flamingo menyaring air untuk mendapatkan udang. Paruh mereka yang berbentuk sedemikian rupa beradaptasi untuk menyaring air dan lumpur untuk mendapatkan makanan. Struktur lamellae, yang juga terdapat pada burung akuatik penyaring makanan lainnya, terdapat dalam paruh mereka dan membantu proses penyaringan. Warna merah muda cerah mereka dikarenakan beta karoten yang terdapat dalam makanan mereka. Udang dan alga biru-hijau adalah sumber beta karoten yang umum didapatkan flamingo. 

5. Pelikan
Kingdom : Animalia 
Phylum    : Chordata 
Ordo        : Pelecaniformes 
Family     : Pelecanidae 
Genus      : Pelecamus 
Species    : Pelecamus conspiculatus 
Nama Lain : Pelikan
Ciri-ciri umum : 
Burung pelikan memiliki ciri khas yaitu memiliki kantung di bawah paruhnya . Mereka menangkap mangsa dengan memperbesar kantung paruhnya,  lalu pelikan harus mengeringkan kantung tersebut sebelum menelannya. Burung ini memiliki penampilan yang indah dan seringkali menjadi penghias kolam. Makanan utama dari burung ini adalah ikan, katak, udangudangan. 

6. Koak Biru
Kingdom : Animalia 
Phylum    : Chordata 
Ordo        : Ciconiiformes 
Family     : Ardeidae 
Genus      : Nycticorax 
Species    : Nycticorax nyticoras 
Nama Lain : Koak Biru 
Burung ini dikenal dengan gagak malam, karena suara yang dihasilkan menyerupai burung gagak. Burung koak yang berukuran sedang, kowak-malam abu dewasa mencapai ukuran 64 cm dan berat 800 g. Berkepala besar dan bertubuh kekar.  Burung dewasa memiliki mahkota yang berwarna hitam kebiruan, leher dan dada berwarna putih, punggung dan mantel hitam berkilau kehijauan atau kebiruan, serta sayap dan ekor berwarna abu-abu. Pada musim kawin sampai bertelur, burung ini mempunyai dua bulu putih hiasan yang memanjang dari belakang kepalanya hingga mencapai mantelnya.  Paruh agak panjang dan runcing, berwarna hitam. Iris mata merah (kuning pada hewan muda). Kaki kuning, yang berubah menjadi kemerahan bila musim berbiak

Sunday, 1 January 2023

BATIK PESISIR, KELUWESAN DAN TOLERANSI

Sebelumnya dalam Blog ini penulis sempat membahas terkait Filosofi Batik Cirebon. Pembahasan tersebut meliputi teknik pembuatan batik, ragam corak batik serta sedikit membahas terkait jenis batik keraton dan pesisir. Karena pembahasannya belum mendalam, kali ini akan dipaparkan terkait batik pesisir.

Secara garis besar pengelompokan batik terbagi menjadi dua kelompok yaitu batik keraton dan batik pesisir. Batik keraton merupakan merupakan motif batik yang tercipta atau dibuat dalam lingkungan keraton. Motif ini memiliki pakem serta memiliki arti/ makna filosofis pada setiap motifnya. Sedangkan batik pesisir merupakan motif batik yang terlahir atau tercipta di luar lingkungan keraton. Motif ini memiliki warna yang lebih cerah serta motif yang sangat beragam. Motif ini sangat luwes serta kurang memiliki makna atau filosofis. 

Dalam perkembangannya Batik Pesisir sangat berkembang dan melesat, hal ini dikarenakan keluwesannya serta mengakibatkan macam yang beragam. Batik pesisir sifatnya komersil, lebih gaya, dan dipakai sehari-hari oleh rakyat dari segala kalangan, segala usia. Variasinya lebih banyak dari segi warna maupun motif, hasil pengaruh asing yang dibawa para pedagang asing zaman dulu. Penulis mencoba untuk memetakan macam Batik Pesisir berdasarkan motif dan corak khas serta letak geografisnya. Macam dari Batik pesisir ini diantaranya: Batik Cirebon dan Indramayu, Batik Pekalongan, Batik Lasem, dan Batik madura.


1. Batik Cirebon dan Indramayu

Sama halnya dengan perkembangan batik di Indonesia, perkembangan batik Cirebon di inisiasi oleh keluarga lingkungan keraton. Keraton-keraton yang ada di Cirebon meliputi keraton Kasepuhan, Kanoman, Keprabon dan Cirebon. Sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religious. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam di Cirebon sekitar abad ke-16. Sejarah batik Cirebon dimulai ketika pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon. Batik Pesisir Cirebon sangat pesat berkembang tentunya diluar lingkungan keraton, dan saat ini masih lestari khususnya di daerah Trusmi. motif yang berkembang dalam batik cirebon diantaranya meliputi fauna dan flora seperti kupu-kupu, burung gelatik, serta ragam bunga. Sedangkan Batik Indramayu berkembang di daerah Paoman, motif yang khas dari indramayu adalah motif ikan serta fauna yang tersebar di kali cimanuk, serta untuk floranya sendiri banyak yang menggambarkan flora khas indramayu seperti mangrove.

 

2. Batik Pekalongan

Tidak heran jika kota Pekalongan dikenal dengan kota Batik. Hal tersebut layak disematkan karena konsistensinya dalam memproduksi batik, batik pekalongan tetap eksis dengan kekhasannya. Salah satu yang menjadi khas dari batik pekalongan adalah batik peranakannya dengan motif flora yang indah salah satunya adalah motif Buketan. Motif ini sering dikenakan dengan paduan kebaya encim yang memang banyak dikenakan dan khas peranakan Cina Indonesia. Salah satu Mastro Batik yang dan prestige adalah Oey Soe Tjoen (OST). Batik ini sangat indah dan detailnya rapih dengan gebyar warna yang khas.

3. Batik Lasem

Lasem merupakan salah satu kota kecil di Jawa Tengah di Kabupaten Rembang. Batik yang terkenal dari Lasem ini adalah Batik 3 Negeri. Batik 3 Negeri merupakan hasil akulturasi dari 3 budaya besar yaitu budaya Tionghoa yang disiratkan dengan warna merah, budaya Eropa yang disiratkan dengan warna biru indigo dan budaya Jawa yang disiratkan dengan warna coklat sogan. Paduan 3 warna yang menggambarkan akulturasi 3 budaya ini dengan motif yang khas membentuk Batik yang dikenal dengan batik Lasem. 


4. Batik Madura
Batik Pesisir yang ikonik berikutnya adalah batik madura. Batik madura ini pertama kali diperkenalkan sejak masa kerajaan pamekasan. Batik ini banyak menggunakan warna yang cerah seperti warna merah, kuning, hijau dan motif yang dibentuk banyak terkait tentang flora seperti bunga dan daun. Motif yang terkenal diantaranya adalah motif lancor. Nama Lancor ini diambil dari nama menara yang berada di alun-alun pamekasan.


Batik Pesisir dengan ragam warna dan motif akan selalu lestari, dengan luwesnya motif, dan beragamnya akulturasi budaya, menjadikan Batik Pesisir terlihat indah dan menawan. 




Tuesday, 1 November 2022

ANALISIS KOMPETENSI MATERI PERUBAHAN EKOSISTEM

 

Materi pencemaran merupakan sub bab dari materi perubahan ekosistem dalam kurikulum KTSP. Ekosistem terbentuk dari dua komponen yaitu factor biotic dan factor abiotik. Komponen abiotik suatu ekosistem merupakan keadaan fisik dan kimia yang menyertai kehidupanorganisme sebagai medium dan substrat kehidupan. Komponen ini terdiri atas tanah, air, udara, topografi,,iklim, dll. Sedangkan komponen biotic merupakan komponen yang terdiri dari organism atau makhluk hidup. Hubungan antara dua komponen tersebut saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan antara  satu dengan lainnya keduanya memiliki hubungan timbal balik. Saling keterkaitan tersebut akan menciptakan lingkungan yang seimbang  yaitu lingkungan yang dapat menjamin kelangsungan sistem ekologi. Apabila terjadi perubahan dengan sendirinya akan membentuk keseimbangan baru dengan proporsional sesuai dengan perubahan itu. Hal ini dapat terjadi selama perubahan itu masih berada dalam daya dukung. Namun, bila perubahan ekosistem menyebabkan suatu komponen tidak berfungsi maka aliran energy dan daur materi akan terganggu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi semua komponen ekosistem lainnya.

Factor-faktor yang menyebabkan gangguan keseimbangan lingkungan adalah bisa disebabkan oleh factor alam dan factor manusia. Factor alami yang menyebabkan perubahan keseimbangan lingkungan adalah letusan gunung berapi, tanah longsor, kebakaran hutan, tsunami, yang dapat menyebabkan terputusnya rantai makanan yang menunjukan bahwa keseimbangan lingkungan sudah terganggu.

Sedangkan factor manusia maksudnya adalah manusia yang merupakan komponen biotic yang mempunyai pengaruh ekologi terkuat di biosfer bumi ini. Dengan kemampuannya mengembangkan ilmu dan teknologi manusia memiliki pengaruh yang sangat besar baik pengaruh yang memusnahkan ekosistem atau melestarikan ekosistem. Contoh akibat aktifitas manusia yang dapat menyebabkan perubahan lingkungan adalah pencemaran lingkungan.

Pencemaran lingkungan berdasarkan media tercemarnya dibedakan menjadi pencemaran air, pencemaran udara, dan pencemaran tanah.

Pencemaran air terjadi karena masuknya zat-zat yang mengakibatkan kualitas air menurun. Hal ini dapat terjadi pada sumber mata air, sungai, waduk, dan air laut. Menurut jenis bahan pencemar air (polutan) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pencemaran biologi dan pencemaran kimia.

Salah satu zat polutan yang menyebabkan pencemaran kimia adalah detergen. Detergen merupakan bahan pembersih sintetis berupa senyawa kimia alkyl benzene sulfonat (ABS) yang biasanya digunakan sebagai bahan pembersih. Selain itu juga detergen ini mengandung zat surfaktan (surface active agent) yang merupaka n zat aktif  molekul organic dengan bagian lifofilik dan bagian polar, yang berfungsi menurunkan tegangan permukaaan air. Senyawa polutan detergen ini dapat menghasilkan  busa-busa di permukaan badan airnya sehingga dapat menyebabkan kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan kadar oksigen terlarut.  Dengan demikian organism air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan kematian.

Thursday, 20 January 2022

 Kecerdasan Emosional/ Emotional Quotient (EQ)

Mayer dan Salovey dalam Yahaya (2012) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kecerdasan yang melibatkan kemampuan untuk mengendalikan emosi diri dan emosi terhadap orang lain. Menurut mereka, kecerdasan emosional dapat dikategorikan ke dalam lima aspek, yaitu: kesadaran diri, mengatur emosi, motivasi diri, empati dan kemampuan interpersonal.

1.      Kesadaran diri dan mengetahui emosi diri sendiri serta dapat mengidentifikasi emosi ketika emosi tersebut muncul. Kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Mayer dalam Goleman (2002) menyatakan bahwa kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.

2.      Mengatur emosi adalah menjaga dan menangani emosi diri. Menurut Goleman (2002) mengatur emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mempengaruhi kestabilan kita.

3.      Motivasi diri adalah langkah untuk menggunakan emosi positif dalam mencapai tujuan. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan), memotivasi diri sendiri (prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri)

4.      Empati adalah sensitif terhadap perasaan orang lain, peduli dan menerima perspektif mereka dan menghargai perbedaan yang ada dalam perasaan orang lain. Goleman (2002) mengatakan bahwa kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

5.      Keterampilan interpersonal dapat mengontrol emosi orang lain, memiliki kompetensi dan keterampilan sosial. Kemampuan ini merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Kemudian, Mayer dan Salovey (1997) menyempurnakan definisi kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mendeteksi emosi, untuk menggunakan dan menciptakan emosi dalam berpikir, memahami emosi dan mengakuisisi pengetahuan mengenai emosi, dan selalu berpikir untuk mengendalikan emosi. Menurut Salovey & Mayer (1990) bahwa emosi membuat berpikir cerdas. Selanjutnya, Mayer et al. (2008) menyatakan bahwa beberapa individu memiliki kapasitas yang lebih besar daripada yang lain untuk melaksanakan pengolahan emosi dan mengatur rangsangan emosi, dan menggunakan informasi ini sebagai dasar untuk berpikir dan perilaku. Berdasarkan pernyataan tersebut, tampak bahwa individu dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, yang mampu memperhatikan, menggunakan, memahami, dan mengelola emosi dengan baik, akan berpotensi dapat beradaptasi dengan lingkungan dan orang lain secara baik.

Goleman (2002) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial. Kecerdasan emosional bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa atau memanjakan perasaan, melainkan mengelola perasaan sedemikian sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan orang ketiga sama dengan orang lain secara lancar menuju tujuan bersama. Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional meliputi kecerdasan interpersonal (kecerdasan pribadi) dan intrapersonal (kecerdasan sosial) yang berfungsi sebagai tali pengendali untuk menyeimbangkan perasaan, pikiran serta tindakan, meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan sosial.

Kecerdasan emosional menjadi populer dalam pembahasan Daniel Goleman di tahun 1995. Ia percaya bahwa kecerdasan emosional memiliki pengaruh kuat dalam IQ (Yahaya, 2012). Goleman (2000) menyatakan bahwa kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional atau emotional quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Durgut et al. (2013) bahwa ada hubungan positif antara kecerdasan emosional dan prestasi akademi.  Menurut Epstein dan Le Doux dalam Nwadinigne & Azuka (2012), mengatakan bahwa kedua domain, baik itu domain kognitif maupun domain emosional siswa perlu diperhatikan dan dikembangkan dalam akademik dan harus menjadi tujuan utama untuk mendidik siswa.

Kecerdasan emosional ini sangat diperlukan oleh siswa baik itu untuk belajar, berinteraksi dan berkomunikasi tidak hanya dengan guru mereka, tetapi juga dengan teman sekelas. Pada fenomena sehari-hari, kecerdasan emosi dianggap menjadi kemampuan yang membantu seseorang mengartikan dan menanggapi emosi yang berbeda dialami oleh seseorang setiap harinya. Menurut Nelson dan Rendah dalam Rowelie et al. (2015) siswa yang kecerdasan emosionalnya rendah akan mengalami beberapa tantangan dalam penyesuaian diri atau akan sulit untuk menangani secara efektif tuntutan tugas-tugas di sekolah, maka siswa tersebut mungkin tidak akan mampu mencapai tujuan pribadi yang meliputi prestasi akademik yang tinggi. Dengan demikian, untuk menghasilkan generasi yang kompeten dan sukses sejalan dengan filsafat pendidikan, memperhatikan kecerdasan emosional siswa adalah sesuatu hal yang penting.

disusun oleh : Febblina Daryanes

  

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson, L. W. & Krathwohl. (2010). Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arends, R. (2008). Learning to Teach. Penerjemah: Helly Prajitno & Sri Mulyani. New York: McGraw Hill Company.

 Arikunto, S. (2012). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara

Bilgin, I., Senocak, E., Sozbilir, M. (2009). The Effects of Problem-Based Learning Instruction on University students Performance of Conceptual and Quatitative Problem in Gas Concepts. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, Vol. 5, No. 2, 153-164.

Campbell, N, A., Reece, J, B., Mitchell, L, G. (2004). Biologi Edisi Kelima Jilid 3. Erlangga. Jakarta.

Costa, A. L. (1991). The search for intelligent life. In A. Costa (Ed.), The school as a home for the mind (pp. 19–31). Palatine, IL: Skylight Training and Publishing.

 

Costa, A. L., & Kallick, B. (2000). Assesing and reporting on habits of Mind. Alexandria: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).

Costa, A. L. & Kallick, B. (2008). Learning and Leading with Habits of Mind : 16 Essential Characteristics for Succes. Alexandria, VA. [Online]. Diakses 1 November 2015.

 

Dahar, R.,W. (2003). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Gelora Aksara Prima

 

Duch, J. B. (2001). The Power of Problem Based Learning. Virginia: Streling.

 

Durgut, M., Gerekan, B., Pehlivasn, A. (2013). The Impact of Emotional Intelligence on the Achievement of Accounting Subject. International Journal of Business and Social Science Vol. 4 No. 13

 

Etherington, M., B. (2011). Investigative Primary Science: A Problem-based Learning Approach. Australian Journal of Teacher Education. Vol. 36, No. 9, 53-74.

 

Evans, P. (2009). Is There a Link Between Problem Based Learning and Emotional Intelligence?. Kathmandu University Medical Journal, Vol. 7, No. 1, Issue 25, 4-7

 

Fraenkel & Wallen. (2012). How to Design and Evaluate research in education. New York: Mc Graw Hill.

 

Gamze, Serap, Mehmet. (2013).  A Comparison of Achievement In Problem-Based, Strategic And Traditional Learning Classes In Physics. International Journal on New Trends in Education and Their Implications, vol 4, No. 1, 154-164.

 

Goleman. (2000). Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

 

Goleman. (2002). Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional, Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

 

Haka, N. B. (2013). Pengaruh  Asesmen Kinerja untuk Meningkatkan Habits of Mind dan Penguasaan Konsep Siswa Kelas XI. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Hartman, K. B., Moberg, C. R., Lambert, J.M. (2012). Effectiveness of Problem-Based Learning in Introductory Business Courses. Journal of Instructional Pedagogies, 1-13.

Hosnan. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia

Idris, T. (2013). Penerapan Asesmen Portofolio untuk Meningkatkan Habits of Mind dan Penguasaan Konsep Siswa Kelas XI. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Johnson, B., & Ritledge, M. (2005). Habits of mind: a curriculum for community high school of vermont students. Vermont: Vermont Consultant for Language and Learning

Kurniawan, I. S. (2015). Implementasi Problem Based Learning Open Ended dalam Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa pada Materi Sistem Sirkulasi pada Sekolah di Perkotaan dan Pedesaan. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Lambors, A. (2004).  Problem Based Learning in Middle and High School Classroom. California : Corwin Press A Sage Publications  Company.

 

Isfiani, I. R. (2014). Analisis Hubungan Antara Habits of Mind, Tingkat Kecemasan Kognitif, dan Hasil Belajar Biologi Pada Siswa Kelas XI SMA Kota Bandung. Sekolah Pascasarjana UPI. Tesis. Tidak diterbitkan.

 

Mahardi, A., dan Sumarmo, U. (2011). Pengaruh strategi Mathematical Habits of Mind (MHM) Berbasis Masalah terhadap Kreatifitas Siswa. Jurnal Cakrawala Pendidikan 30, (2), 216-229.

Marzano, R.J., (1994). Assesing students outcomes; performance assessment using the dimensions of learning model. Alexandria, Virginia USA: Association for Supervision and Curriculum Development.

Marzano, R.J. (1997) Dimensions of learning trainer’s manual. Alexandria, Virginia USA: Mid-continent Regonal Educational Laboratory

Mayer, J.D. and Salovey, P. (1997). What is emotional intelligence? In Salovey, P and Sluyter,C.Emotional development and emotional intelligence: Implication for educator. New York:Basic.

 

Mayer, J.D., Salovey, P., Caruso, D.R. (2008). Emotional Intelligence: New Ability or Eclectic Traits? American Psychologist, Vol. 63, No. 6, pg 503–517.

 

Meltzer D. E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physic: A Possible Hidden Variable in Diagnostic Scores. American Journal Physic. 70 (2), 1259-1267.

 

Nurmaulita. (2014). Pembentukan Habits of Mind Siswa Melalui Pembelajaran Salingtemas Pada Matapelajaran Fisika. Jurnal Online Pendidikan Fisika, Vol. 3, No. 2.

 

Nwadinigwe, I.P & Azuka-Obieke, U. (2012). The Impact of Emotional Intelligence on Academic Achievement of Senior Secondary School Students in Lagos, Nigeria. Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS) 3(4): 395-401 (ISSN: 2141-6990)

.

Purtadi, S & Sari, L. P. (2005). Metode Belajar Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Berbantu Diagram Vee dalam Pembelajaran Kimia.Yogyakarta: Makalah Seminar Nasional MIPA Yogyakarta.

 

Purwanto, M. N. (2009). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Rafaei, W. (1998). Menaging Studuent Intake At Graduate Level, Paper presented at the Third Annual Asian Academy for Management Conference 16-17 July 1998 at Kuala Terengganu.

 

Rakhmawati, I. (2013). Penerapan Asesmen Portofolio Elektronik untuk Meningkatkan Habits of Mind dan Penguasaan Konsep Mahasiswa Pendidikan Biologi. (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Risnanosanti. (2011). Peranan Habits of Mind dalam Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi. Lampung: Makalah dalam Seminar Nasional Pendidikan MIPA UNILA.

Rustaman, N., Y. (2005). Strategi Belajar Mengajar Biologi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

 

Rowelie, M., Cristelle, P.A., Lorraine, S., Katherine, T. (2015). Predictive Ability of Emotional Intelligence and Adversity Quotient on Academic Performance of USC College Students. Cebu City, Philippines

 

Salovey, P. & Mayer, J. D. (1990). Emotional Intelligence. Baywood Publishing Co. Inc.

Simone, C., D. (2014). Problem-Based Learning in Teacher Education: Trajectories of Change. International Journal of Humanities and Social Science, Vol 4, No. 12, 11-29.

Sriyati, S. (2011). Penerapan Asesmen Formatif Untuk Membentuk Habits of Mind Mahasiswa Biologi. Sekolah Pascasarjana UPI Bandung. Disertasi. Tidak diterbitkan.

 

Sudijono, A. (2009). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers

Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung. Alfabeta

Sumaya. (2004). Penguasaan Konsep dalam Pembelajaran Pakem. [Online] Tersedia: http://www.google.co.id/#hl=id&q=Penguasaan+konsep.html

Tishman, S., & Perkins, D. (1997). The language of thinking. Phi Delta Kappan 78(5), 368–374

Trianto. (2011). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

 

Wollfold, A., E & Nicolish, L., M. (2004). Mengembangkan Kepribadian dan Kecerdasan Anak-anak (Psikologi Pembelajaran I). Jakarta: Inisiasi Press.

 

Yahaya, A., Ng Sar Ee, Bachok, J. D., Yahaya, N., Boon, Y. (2012). The Impact of Emotional Intelligence Element on Academic Achievement. Archives Des Sciences (65), 4

Monday, 13 December 2021

Buah Lerak Sejarah dan Pemanfaatannya

 

Alam menyimpan sejuta potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang saat ini, tidak menutup kemungkinan potensi alam tersebut dapat dieksploitasi dengan lebih baik, meskipun tidak menampik fakta bahwa tradisi leluhur terkadang masih bersifat tepat guna dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan keefektifannya. Artinya, tradisi tersebut masih relevan dengan perkembangan zaman sehingga keberadaannya tetap dipertahankan hingga kini. Menurut Keraf  (2002), semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologi disebut kearifan tradisional yang harus terus digali dan dikembangkan agar kelestariannya tetap terjaga. Adapun menurut Moendardjito dalam Fatmawati (2014), tradisi dapat berkembang menjadi kearifan tradisional apabila mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Salah satu bentuk kearifan tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat adalah penggunaan lerak sebagai sabun tradisional. Masyarakat jawa sudah lama memanfaatkan buah ini untuk digunakan sebagai sabun tradisional. Pada zaman dulu buah ini sering dimanfaatkan untuk mencuci berbagai benda yang terbuat dari logam seperti keris dan benda lainnya, selain benda logam buah ini juga sering digunakan untuk mencuci benda yang terbuat dari kain seperti batik.

Salah satu tradisi yang melibatkan penggunaan buah lerak adalah mewarangi dan memandikan keris. Beberapa keris yang memiliki nilai historis dan spiritual yang tinggi dalam proses memandikan dan mewarangi harus pada waktu-waktu tertentu. Seperti keris pusaka yang ada dikeraton Surakarta dan jogja biasanya prosesi ini dilakukan setiap bulan suro (Muharam). Dalam pelaksanaan prosesi ini selain buah lerak bahan-bahan yang digunakan semuanya bahan alam seperti air kelapa hijau (digunakan untuk merendam keris), jeruk nipis digunakan dalam proses mutihke (penggosokan bilah keris), marangi (pengolesan keris dengan menggunakan cairan warangan), minyak alami digunakan untuk proses minyaki (terbuat dari minyak tumbuhan, seperti akar wangi, gaharu, melati cendana). Salah satu prosesi pencucian pusaka yang sampai sekarang bertahan tradisi dan ritualnya adalah ritual jamasan.


Tidak hanya benda yang terbuat dari logam saja pemanfaatan sabun tradisional dari lerak ini dapat digunakan pada benda yang terbuat dari kain seperti kain batik. Buah lerak ini digunakan untuk mencuci kain atau pakaian pada zaman dulu karena buah ini mengandung busa, licin,dan punya daya untuk membersihkan kotoran pada serat kain. Tradisi penggunaan lerak yang sampai saat ini masih dipertahankan adalah untuk mencuci batik.

klasifikasi Lerak

Klasifikasi tumbuhan lerak adalah sebagai berikut:

Divisio                   : Spermatophyta,

     Sub Divisi              : Angiospermae, 

     Kelas                      : Dicotyledone, 

     Ordo                       : Sapindales, 

     Famili                     : Sapindaceae, 

     Genus                     : Sapindus, 

 Spesies                  : Sapindus rarak DC



Di Jawa tanaman ini tumbuh liar, tinggi tanaman dapat mencapai 42 m dan mempunyai diameter batang 1 m. Tanaman ini mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Palembang disebut lamuran, di Jawa lerak dan di Jawa Barat sering disebut rerek. Lerak biasa tumbuh liar di hutan dengan tinggi 15 - 42 m dengan diameter batang 1 m dan tumbuh rindang, bentuk. Tanaman ini mempunyai bunga majemuk tidak terbatas (inflorescentia centripetala) dimana bunga mekar dari bawah ke atas sehingga berbentuk tandan dengan tangkai bunga tumbuh dari ujung batang.

Buah lerak merupakan buah tunggal berbentuk bulat dengan diameter  2 cm,biji dilindungi oleh kulit biji dengan warna kulit biji berwarna hijau, bila telah masak berwarna cokelat  bila dikeringkan berwarna hitam. Biji bersama kulitnya bila direndam akan mengeluarkan busa arena kulit biji banyak mengandung saponin (28%), sehingga dapat digunakan dalam pembuatan sabun, obat cuci rambut dan berbagai alat kosmetika. Lingkungan tumbuh Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi, berdrainase baik, subur dan  mengandung banyak humus.

Lerak tumbuh pada ketinggian di bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik  pada daerah berbukit dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah hujan rata-rata 1.250 mm/tahun. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone,berakar tunggang dengan perakaran yang kompak. Oleh karena itu tanaman ini dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan penahan angin, sebagai tanaman pekarangan yang agak jauh dari rumah. Tanaman  mulai berbuah pada umur 5 - 15 tahun, musim berbuah pada awal musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000 - 1.500 biji. 

Tanaman lerak mempunyai bentuk daun majemuk, menyirip ganjil anak daun bentuk lanset (lanceolatus), bentuk ujung daun runcing, pangkal daun tumpul, tepi rata, dengan panjang 5 - 18 cm, lebar 2,5 - 3,0 cm, bertangkai pendek dan berwarna hijau. Lerak menghasilkan bunga dan buah yang tumbuh langsung dari kuncup dorman pada batang utama atau cabang utama. Bunga lerak berbentuk tandan (racemes), bunga majemuk, mahkota bentuk periuk (hypanthodium), warna kuning keputihan, mahkota empat dan kelopak lima. Penyebaran Tanaman lerak tersebar di berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat di beberapa jurnal menyebutkan bahwa buah, kulit  batang, biji, dan daun tanaman lerak mengandung polifenol, dan tanin. Menurut Widowati (2003) dalam Syahroni (2013), saponin terdapat pada semua bagian tanaman  Sapindus dengan kandungan tertinggi terdapat pada bagian buah. Adapun persentase senyawa aktif pada buah lerak adalah sebagai berikut :

No

Senyawa aktif

Persentase senyawa aktif

1

Saponin

12 %

2

Alkaloid

1 %

3

Ateroid

0.036 %

4

Triterpen

0.029 %



Saponin berasal dari bahasa latin  Sapo yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai  soapberry atau  soapnut. Saponin memiliki sifat berasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan, siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).

Menurut Sukmasari (2006), saponin temasuk glikosida yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan sakarida (bersifat hidrofilik) dan sapogenin (bersifat lipofilik). Sapogenin terdiri dari dua golongan saponin steroid dan saponin triterpenoid. Adanya kandungan saponin yang bersifat hidrofilik dan lipofilik tersebut menjadikan buah lerak bersifat surfaktan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku sabun.


PERANAN dan DAMPAK PEMANFAATAN BUAH LERAK TERHADAP LINGKUNGAN

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwasannya pemanfaatan buah lerak merupakan suatu bentuk kearifan local yang sudah diterapkan sejak jaman dulu. Namun, kebiasaan mencuci dengan menggunakan buah lerak lambat laun berkurang dan mulai ditinggalkan, hal ini disebabkan adanya detergen yang disinyalir fungsinya sama dengan buah lerak serta lebih praktis dalam pemakaiannya.

Detergen merupakan limbah pemukiman yang paling potensial mencemari air. Limbah detergen ini sangat susah diuraikan oleh bakteri, sehingga limbah ini akan tetap ada untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan detergen secara besar-besaran dapat meningkatkan senyawa posfat pada air sungai dan sumber yang tercemarinya. Senyawa fosfat ini dapat merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan tanaman tersebut tanpa terkendali dapat mengakibatkan sungai atau sumber air tersebut tertutupi oleh pertumbuhannya, sehingga dapat menghalangi masuknya cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis pada fitoplankton. Jika tumbuhan atau fitoplankton ini mati, akan mengakibatkan terjadi pembusukan yang menghabiskan persediaan oksigen dalam air.

Berbeda dengan detergen, buah lerak (Sapindus rarak) memiliki sifat ramah lingkungan. Busa/buih yang dihasilkan oleh buah ini berasal dari biji dan buahnya yang mengandung saponin. Saponin dalam buah lerak dapat berfungsi sebagai sabun alami karena ia menghasilkan glikosid yang dapat berbuih dengan indeks busa yang tinggi apabila digoncangkan. Glikosid alami dari saponin dibagi menjadi dua jenis yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Kedua jenis saponin ini mempunyai sifat larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut pada eter. Glikosid triterpenoid alkohol atau saponin triterpernoid alkohol merupakan penyusun utama buah lerak. Saponin pada daging buah lerak yang mempunyai sifat larut pada air dan berbuih tinggi dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai sabun alami tanpa bahan kimia sama sekali.

Zat saponin ini dapat diuraikan dengan baik oleh mikroorganisme di lingkungan sehingga tidak mencemari air sungai berbeda dengan detergen, busa pada detergen memiliki kandungan surfaktan anionic linear alkylbenzene sulfonate (LAS). Akumulasi konsentrasi LAS yang melampaui ambang batas  tersebut bersifat toksik bagi berbagai organisme akuatik.

Saat ini penggunaan lerak masih jarang digunakan oleh lapisan masyarakat. Penggunaan lerak hanya digunakan sebatas pencucian barang-barang tertentu saja seperti kain batik klasik, perkakas antik yang terbuat dari logam seperti kuningan, tembaga atau keris. Pemanfaatan lerak sebenarnya dapat digunakan untuk berbagai hal seperti untuk mencuci pakaian, mencuci barang-barang rumah tangga, mencuci jendela, mencuci badan dan wajah dan masih banyak lagi pemanfaatannya. Jika penggunaan pembersih atau sabun yang mengandung detergen diganti dengan sabun tradisional lerak, limbah domestik yang dihasilkan tentu akan berkurang. Korelasinya jika limbah domestic berkurang tentu pencemaran air atau sumber air pun akan berkurang juga.

Pemanfaatan buah lerak sebagai sabun tradisional ini diharapkan dapat menjadi salah satu aksi solusi dalam mengatasi masalah pencemaran air. Dengan menggunakan aksi ini berarti kita ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan dan melestarikan tradisi nenek moyang karena mengembalikan kebiasaan masyarakat dahulu yang memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai bahan pencuci alami (back to nature).   

DAFTAR PUSTAKA

 

Agustiningsih, Dyah, Setiabudi, S. & Sudarno. (2012). Analisis Kualitas Air dan Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Jurnal Persipitasi. 9(2), pp. 64-71.

Fatmawati, Ira. (2012). Efektivitas Buah Lerak (Sapindus rarak De Candole) Sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, perunggu dan Besi. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. 8(2), pp.24-31.

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2010). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Keraf, S. A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta : Kompas Press.

Rohmat, Dede. (2010). Upaya Konservasi untuk Kesinambungan Ketersediaan Sumber Daya Air (Kasus : DAS Citarum). Disajikan pada Talk Show Hari Air “Air untuk Kehidupan Manusia”, 22 Maret 2010, Mahacita UPI : Bandung.

Syahroni, Yan Yanuar & Djoko Prijono. (2013). Aktivitas Insektisida Ekstrak Buah Piper aduncum L. (Piperaceae) dan Sapindus rarak (Sapindaceae) serta Campurannya terhadap Larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera : Crambidae). Jurnal Entomologi Indonesia. 10(1). Pp. 39-50.

Sukmasari, May dan Tjitjah Fatimah. (2006). Analisis Kadar Saponin dalam Daun Kumis Kucing Dengan Menggunakan Metode TLC-Scanner. Jurnal Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.