Monday 13 December 2021

Buah Lerak Sejarah dan Pemanfaatannya

 

Alam menyimpan sejuta potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup manusia. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang saat ini, tidak menutup kemungkinan potensi alam tersebut dapat dieksploitasi dengan lebih baik, meskipun tidak menampik fakta bahwa tradisi leluhur terkadang masih bersifat tepat guna dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan keefektifannya. Artinya, tradisi tersebut masih relevan dengan perkembangan zaman sehingga keberadaannya tetap dipertahankan hingga kini. Menurut Keraf  (2002), semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologi disebut kearifan tradisional yang harus terus digali dan dikembangkan agar kelestariannya tetap terjaga. Adapun menurut Moendardjito dalam Fatmawati (2014), tradisi dapat berkembang menjadi kearifan tradisional apabila mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah pada perkembangan budaya.

Salah satu bentuk kearifan tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat adalah penggunaan lerak sebagai sabun tradisional. Masyarakat jawa sudah lama memanfaatkan buah ini untuk digunakan sebagai sabun tradisional. Pada zaman dulu buah ini sering dimanfaatkan untuk mencuci berbagai benda yang terbuat dari logam seperti keris dan benda lainnya, selain benda logam buah ini juga sering digunakan untuk mencuci benda yang terbuat dari kain seperti batik.

Salah satu tradisi yang melibatkan penggunaan buah lerak adalah mewarangi dan memandikan keris. Beberapa keris yang memiliki nilai historis dan spiritual yang tinggi dalam proses memandikan dan mewarangi harus pada waktu-waktu tertentu. Seperti keris pusaka yang ada dikeraton Surakarta dan jogja biasanya prosesi ini dilakukan setiap bulan suro (Muharam). Dalam pelaksanaan prosesi ini selain buah lerak bahan-bahan yang digunakan semuanya bahan alam seperti air kelapa hijau (digunakan untuk merendam keris), jeruk nipis digunakan dalam proses mutihke (penggosokan bilah keris), marangi (pengolesan keris dengan menggunakan cairan warangan), minyak alami digunakan untuk proses minyaki (terbuat dari minyak tumbuhan, seperti akar wangi, gaharu, melati cendana). Salah satu prosesi pencucian pusaka yang sampai sekarang bertahan tradisi dan ritualnya adalah ritual jamasan.


Tidak hanya benda yang terbuat dari logam saja pemanfaatan sabun tradisional dari lerak ini dapat digunakan pada benda yang terbuat dari kain seperti kain batik. Buah lerak ini digunakan untuk mencuci kain atau pakaian pada zaman dulu karena buah ini mengandung busa, licin,dan punya daya untuk membersihkan kotoran pada serat kain. Tradisi penggunaan lerak yang sampai saat ini masih dipertahankan adalah untuk mencuci batik.

klasifikasi Lerak

Klasifikasi tumbuhan lerak adalah sebagai berikut:

Divisio                   : Spermatophyta,

     Sub Divisi              : Angiospermae, 

     Kelas                      : Dicotyledone, 

     Ordo                       : Sapindales, 

     Famili                     : Sapindaceae, 

     Genus                     : Sapindus, 

 Spesies                  : Sapindus rarak DC



Di Jawa tanaman ini tumbuh liar, tinggi tanaman dapat mencapai 42 m dan mempunyai diameter batang 1 m. Tanaman ini mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Palembang disebut lamuran, di Jawa lerak dan di Jawa Barat sering disebut rerek. Lerak biasa tumbuh liar di hutan dengan tinggi 15 - 42 m dengan diameter batang 1 m dan tumbuh rindang, bentuk. Tanaman ini mempunyai bunga majemuk tidak terbatas (inflorescentia centripetala) dimana bunga mekar dari bawah ke atas sehingga berbentuk tandan dengan tangkai bunga tumbuh dari ujung batang.

Buah lerak merupakan buah tunggal berbentuk bulat dengan diameter  2 cm,biji dilindungi oleh kulit biji dengan warna kulit biji berwarna hijau, bila telah masak berwarna cokelat  bila dikeringkan berwarna hitam. Biji bersama kulitnya bila direndam akan mengeluarkan busa arena kulit biji banyak mengandung saponin (28%), sehingga dapat digunakan dalam pembuatan sabun, obat cuci rambut dan berbagai alat kosmetika. Lingkungan tumbuh Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi, berdrainase baik, subur dan  mengandung banyak humus.

Lerak tumbuh pada ketinggian di bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik  pada daerah berbukit dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah hujan rata-rata 1.250 mm/tahun. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone,berakar tunggang dengan perakaran yang kompak. Oleh karena itu tanaman ini dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan penahan angin, sebagai tanaman pekarangan yang agak jauh dari rumah. Tanaman  mulai berbuah pada umur 5 - 15 tahun, musim berbuah pada awal musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000 - 1.500 biji. 

Tanaman lerak mempunyai bentuk daun majemuk, menyirip ganjil anak daun bentuk lanset (lanceolatus), bentuk ujung daun runcing, pangkal daun tumpul, tepi rata, dengan panjang 5 - 18 cm, lebar 2,5 - 3,0 cm, bertangkai pendek dan berwarna hijau. Lerak menghasilkan bunga dan buah yang tumbuh langsung dari kuncup dorman pada batang utama atau cabang utama. Bunga lerak berbentuk tandan (racemes), bunga majemuk, mahkota bentuk periuk (hypanthodium), warna kuning keputihan, mahkota empat dan kelopak lima. Penyebaran Tanaman lerak tersebar di berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat di beberapa jurnal menyebutkan bahwa buah, kulit  batang, biji, dan daun tanaman lerak mengandung polifenol, dan tanin. Menurut Widowati (2003) dalam Syahroni (2013), saponin terdapat pada semua bagian tanaman  Sapindus dengan kandungan tertinggi terdapat pada bagian buah. Adapun persentase senyawa aktif pada buah lerak adalah sebagai berikut :

No

Senyawa aktif

Persentase senyawa aktif

1

Saponin

12 %

2

Alkaloid

1 %

3

Ateroid

0.036 %

4

Triterpen

0.029 %



Saponin berasal dari bahasa latin  Sapo yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai  soapberry atau  soapnut. Saponin memiliki sifat berasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan, siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).

Menurut Sukmasari (2006), saponin temasuk glikosida yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan sakarida (bersifat hidrofilik) dan sapogenin (bersifat lipofilik). Sapogenin terdiri dari dua golongan saponin steroid dan saponin triterpenoid. Adanya kandungan saponin yang bersifat hidrofilik dan lipofilik tersebut menjadikan buah lerak bersifat surfaktan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku sabun.


PERANAN dan DAMPAK PEMANFAATAN BUAH LERAK TERHADAP LINGKUNGAN

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwasannya pemanfaatan buah lerak merupakan suatu bentuk kearifan local yang sudah diterapkan sejak jaman dulu. Namun, kebiasaan mencuci dengan menggunakan buah lerak lambat laun berkurang dan mulai ditinggalkan, hal ini disebabkan adanya detergen yang disinyalir fungsinya sama dengan buah lerak serta lebih praktis dalam pemakaiannya.

Detergen merupakan limbah pemukiman yang paling potensial mencemari air. Limbah detergen ini sangat susah diuraikan oleh bakteri, sehingga limbah ini akan tetap ada untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan detergen secara besar-besaran dapat meningkatkan senyawa posfat pada air sungai dan sumber yang tercemarinya. Senyawa fosfat ini dapat merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan tanaman tersebut tanpa terkendali dapat mengakibatkan sungai atau sumber air tersebut tertutupi oleh pertumbuhannya, sehingga dapat menghalangi masuknya cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis pada fitoplankton. Jika tumbuhan atau fitoplankton ini mati, akan mengakibatkan terjadi pembusukan yang menghabiskan persediaan oksigen dalam air.

Berbeda dengan detergen, buah lerak (Sapindus rarak) memiliki sifat ramah lingkungan. Busa/buih yang dihasilkan oleh buah ini berasal dari biji dan buahnya yang mengandung saponin. Saponin dalam buah lerak dapat berfungsi sebagai sabun alami karena ia menghasilkan glikosid yang dapat berbuih dengan indeks busa yang tinggi apabila digoncangkan. Glikosid alami dari saponin dibagi menjadi dua jenis yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Kedua jenis saponin ini mempunyai sifat larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut pada eter. Glikosid triterpenoid alkohol atau saponin triterpernoid alkohol merupakan penyusun utama buah lerak. Saponin pada daging buah lerak yang mempunyai sifat larut pada air dan berbuih tinggi dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai sabun alami tanpa bahan kimia sama sekali.

Zat saponin ini dapat diuraikan dengan baik oleh mikroorganisme di lingkungan sehingga tidak mencemari air sungai berbeda dengan detergen, busa pada detergen memiliki kandungan surfaktan anionic linear alkylbenzene sulfonate (LAS). Akumulasi konsentrasi LAS yang melampaui ambang batas  tersebut bersifat toksik bagi berbagai organisme akuatik.

Saat ini penggunaan lerak masih jarang digunakan oleh lapisan masyarakat. Penggunaan lerak hanya digunakan sebatas pencucian barang-barang tertentu saja seperti kain batik klasik, perkakas antik yang terbuat dari logam seperti kuningan, tembaga atau keris. Pemanfaatan lerak sebenarnya dapat digunakan untuk berbagai hal seperti untuk mencuci pakaian, mencuci barang-barang rumah tangga, mencuci jendela, mencuci badan dan wajah dan masih banyak lagi pemanfaatannya. Jika penggunaan pembersih atau sabun yang mengandung detergen diganti dengan sabun tradisional lerak, limbah domestik yang dihasilkan tentu akan berkurang. Korelasinya jika limbah domestic berkurang tentu pencemaran air atau sumber air pun akan berkurang juga.

Pemanfaatan buah lerak sebagai sabun tradisional ini diharapkan dapat menjadi salah satu aksi solusi dalam mengatasi masalah pencemaran air. Dengan menggunakan aksi ini berarti kita ikut serta dalam menjaga kelestarian lingkungan dan melestarikan tradisi nenek moyang karena mengembalikan kebiasaan masyarakat dahulu yang memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai bahan pencuci alami (back to nature).   

DAFTAR PUSTAKA

 

Agustiningsih, Dyah, Setiabudi, S. & Sudarno. (2012). Analisis Kualitas Air dan Strategi Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Jurnal Persipitasi. 9(2), pp. 64-71.

Fatmawati, Ira. (2012). Efektivitas Buah Lerak (Sapindus rarak De Candole) Sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, perunggu dan Besi. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. 8(2), pp.24-31.

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2010). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Keraf, S. A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta : Kompas Press.

Rohmat, Dede. (2010). Upaya Konservasi untuk Kesinambungan Ketersediaan Sumber Daya Air (Kasus : DAS Citarum). Disajikan pada Talk Show Hari Air “Air untuk Kehidupan Manusia”, 22 Maret 2010, Mahacita UPI : Bandung.

Syahroni, Yan Yanuar & Djoko Prijono. (2013). Aktivitas Insektisida Ekstrak Buah Piper aduncum L. (Piperaceae) dan Sapindus rarak (Sapindaceae) serta Campurannya terhadap Larva Crocidolomia pavonana (Lepidoptera : Crambidae). Jurnal Entomologi Indonesia. 10(1). Pp. 39-50.

Sukmasari, May dan Tjitjah Fatimah. (2006). Analisis Kadar Saponin dalam Daun Kumis Kucing Dengan Menggunakan Metode TLC-Scanner. Jurnal Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

Thursday 9 December 2021

Romansa Lada Nusantara di Ujung Barat Jawa

Indonesia dianugerahi kekayaan alam melimpah dengan bonus letak geografis yang strategis di iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi serta tanah yang subur menjadi alasan negara kita dikenal dengan negara agraris. Banyak jenis tanaman tumbuh di bumi Nusantara ini, diantaranya berbagai macam rempah yang menjadi daya tarik para pedagang asing seperti Arab, Cina, Eropa untuk singgah dan berniaga di bumi Nusantara ini. Tanaman rempah endemik yang menarik minat pedagang diantaranya adalah cengkeh, pala, kemiri yang tumbuh di area Nusantara bagian timur seperti kepulauan Maluku Utara, pulau Maluku, pulau Banda. Selain itu juga, tidak hanya tanaman rempah endemik, tanaman luar yang sudah dibudidayakan ribuan tahun yang lalu seperti lada menjadi magnet tersendiri bangsa asing untuk berniaga di Bumi Nusantara. Lada merupakan salah satu rempah yang dihasilkan di kepulauan Nusantara. Rempah ini tampaknya diperkenalkan sebelum abad ke-14 oleh para pedagang dari India (terutama Malabar) di beberapa tempat di bagian utara Pulau Sumatera, bersamaan dengan penyebaran agama Islam (Lombard, 2006: 59 dalam Soedewo, 2007).

Piper nigrum atau lada dikenal sebagai The king of spices atau Raja Rempah, predikat ini disematkan karena lada merupakan jenis rempah yang paling sering ditambahkan untuk bumbu masakan pada segala jenis makanan dibandingkan dengan tanaman obat (Endraswara, 2020). Kandungan piperine dan piperidine yang menyebabkan rempah ini memiliki aroma dan rasa pedas yang khas dan kuat sehingga membuat rasa makanan menjadi enak dan lezat.

Lada memberikan cita rasa yang hangat dan aroma yang khas sehingga membuat rasa makanan menjadi enak dan lezat seperti pada sajian makanan rabeg. Rabeg merupakan makanan khas dari Banten yang disajikan khusus pada saat maulid nabi Muhammad SAW (Rizki et al, 2012). Makanan ini merupakan menu dari kesultanan Banten dan disukai oleh sultan Banten salah satunya Sultan Maulana Hasanudin. Kesultanan Banten sangat erat kaitannya dengan rempah lada dan salah satu menjadi denyut perekonomian penyumbang kas kerajaan. Teluk Lada menjadi saksi bisu sebagai pusat pelabuhan antar bangsa dan kegiatan perniagaan antar kerajaan bermula disini.

Keberadaan lada dibumi nusantara diperkirakan sejak abad ke-13, kala itu dalam ekspedisi Marco Polo ke Nusantara melaporkan suasana di Jawa berlimpah ruah dengan komoditas lada, pala, kemukus, cengkeh serta jenis rempah lainnya (Rahman, 2019). Tersirat juga dalam prasasti Biluluk (1366 M) komoditi yang diperdagangkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari adalah kelapa, kesumba (pewarna batik), buah mengkudu, kacang-kacangan, lada, dan tebu di zaman kerajaan Majapahit (Anwari, 2015). Selain itu juga tanaman lada disebutkan dalam Serat Centhini bahwa lada selain dapat digunakan sebagai bumbu dapur juga digunakan sebagai tanaman obat (Sukenti et al, 2004).

Banyak ditemukan tanaman lada tua seperti di desa Pandat, Pandeglang Banten, hal ini sejalan dengan bukti dokumen kuno Belanda tahun 1800-an yang menyebut 180 daerah di Banten di sekitar Gunug Karang, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan merupakan penghasil lada (Wibisono, 2020). Kebutuhan lada di era tersebut sangat tinggi dan pasokan utama biji rempah tersebut terpusat di kerajaan Banten. Kebutuhan lada di Eropa pada abad 16 sekitar dua juta ton dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1522 Banten mengekspor 1000 bahar (1 bahar = 206 kg) lada setiap tahun ke berbagai penjuru dunia, terutama ke Cina dan Eropa (Chris, 1881: 4 dalam Untoro, 2006: 167 dalam Soedewo, 2007). Sumber lada ini didapatkan dari kebun-kebun lada kampung pedalaman di wilayah kekuasaan kerjaan Banten. Karena kebutuhannya meningkat area perkebunan pun diperluas tidak hanya terpusat diwilayah Jawa dan sekitar Banten saja namun meluas sampai ke wilayah di pulau Sumatera seperti Lampung, Palembang dan Bengkulu (Untoro, 2006: 167 dalam Soedewo, 2007).

Tersirat dalam prasasti Dalung Bojong, secara garis besar prasasti ini berisi sejumlah peraturan yang ditujukan bagi pejabat dan rakyat di daerah Sekampung (Lampung), di antaranya mengenai tata pelayaran dan perniagaan lada, dan instruksi penanaman lada. Prasasti Dalung Bojong merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kesultanan Banten berisi perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh pejabat dan rakyat Sekampung (Wijayati, 2011). Hal ini menegaskan bahwa lada tidak hanya sekedar komoditas rempah saja namun dapat dijadikan sebagai alat diplomasi. Hubungan diplomasi ini memberikan dampak produktivitas lada meningkat.

Rasa hangat lada juga menciptakan suatu ikatan yang erat bentuk hubungan diplomasi antara kesultanan Banten yang diwakili oleh sultan Banten ke-15 Sultan Abu Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin dengan kerajaan Inggris yang diwakilkan oleh Gubernur Jenderal Johanes Sieberg. Kesultanan Banten menghadiahkan 50 bahar lada hitam kepada Gubernur Jenderal Johanes Sieberg sebagai ucapan terima kasih karena telah mengutus Edeleer Wouter Hendrik van Ijseldijk yang telah mengangkat Sultan Abu Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin sebagai sultan Banten ke-15 (Pudjiastuti, 2007).

Tidak hanya kuantitas dan produktivitasnya saja lada Nusantara memiliki kualitas yang baik. Tidak heran jika Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau persekutuan dagang Belanda berusaha untuk memonopoli perniagaan rempah Nusantara termasuk lada. Segala macam cara salah satunya melalui politik adu domba sehingga terjadi kehancuran kesultanan Banten serta kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara.

Butiran-butiran rempah pedas ini siapa sangka dapat merubah tatanan peradaban mulai dari zaman kesultanan Banten, kolonial VOC, sampai pemerintahan Hindia Belanda. Harmonisasi yang menciptakan tatanan strata yang khas mulai dari para petani kebun lada, pengepul sampai pusat pengelola kualitas lada Nusantara sampai berakhir dalam padanan penyedap makanan atau berakhir dalam racikan farmasi masing-masing memberikan kebermanfaatan tersendiri. Butiran rempah pedas ini pun selain bisa menyatukan cita rasa yang lezat yang dapat membangkitkan kebersamaan dalam meja makan atau sekedar balakecrakan bersama, juga dapat menyebabkan konflik dalam peradaban karena keegoan untuk memonopoli keberadaannya demi kemakmuran golongan tertentu saja.

Saat ini kebutuhan lada dunia meningkat, namun produktivitas lada di Indonesia terjadi penurunan yang sebelumnya dimasa kejayaan sempat mencapai 2 ton perhektar saat ini hanya 0,66 ton perhektar (Kurnianto et al, 2016). Padahal kualitas lada Indonesia sudah memperoleh sertifikat indikasi geografi (SIG) yaitu pengakuan internasional atas karateristik cita rasa dan aroma yang khas kualitas untuk Lampong Black pepper dan Muntok white pepper. Dengan mendapatkan pengakuan tersebut diharapkan produktivitas rempah lada akan kembali berjaya.

Daftar Pustaka:

Anwari, Ikhsan Rosyid Mujahidul. 2015. Sistem Perekonomian Kerajaan Majapahit. VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.2 Juni 2015 hlm. 104–115. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2021.

Endraswara, Suwardi. 2020. Botani Sastra sebagai Penangkal Disrupsi. Humaniora dan Era Disrupsi Seminar Nasional Pekan Chairil Anwar kerja sama FIB Universitas Jember, HISKI Jember, dan ATL Jember. Vol. 1, No. 1. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.

Kurnianto, Dini Tri, Suharyono, dan Kholid Mawardi. 2016. Daya Saing Komoditas Lada Indonesia di Pasar Internasional (Studi Tentang Ekspor Lada Indonesia Tahun 2010-2014). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 40 No. 2 November 2016|. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2021.

Rahman, Fadly. 2019. “Negeri Rempah-Rempah” Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah. Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2021.

Rizki, R., T. Wibisono. 2012. Mengenal Seni dan Budaya Indonesia. Jakarta : CIF (Penebar Swadaya Grup).

Soedewo, Ery. 2007. Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Historisme. Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.

Sukenti, Kurniasih., Edy Guhardja., Y. Purwanto. 2004. Kajian Etnobotani Serat Centhini. Journal of Tropical Ethnobiology. Vol I (1) : 83-100. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2021.

Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Wibisono, SC. 2020. Melacak Jejak Jalur Rempah melalui Arsip, Naskah Kuno, dan Artefak. Seminar Online tanggal 5 Desember 2020.

Wijayati, Mufliha. 2011. Jejak Kesultanan Banten di Lampung Abad XVII. Analisis. Volume XI No.2/ Desember 2011. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.

Monday 15 March 2021


FILOSOFI BATIK CIREBON 


Kebudayaan Indonesia sangat kaya dan beragam yang terbentang dari sabang sampai merauke. Semua itu merupakan warisan yang tak ternilai harganya bagi bangsa ini. Agar bisa dimengerti, kebudayaan harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk indrawi, difungsikan, dan dimaknai secara spiritual. Makna budaya dapat membuka suatu cakrawala bila manusia mampu menempatkan diri, Musman (2011). Salah satu wujud kebudayaan yang ada di Indonesia adalah batik.

Batik merupakan suatu keseluruhan teknik, teknologi serta pengembangan motif dan budaya yang terkait. Saat ini UNESCO (The United Nations Educational, Scientidic and Cultural Organizations) telah mengukuhkan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia (World Heritage) untuk budaya lisan dan non-bendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) yang secara resmi dikukuhkan pada 2 Oktober 2009 di Perancis. Pengukuhan ini merupakan salah satu bentuk pelaksanaan UNESCO dalam mendorong pengenalan, perlindungan, dan pemeliharaan budaya serta warisan berupa batik itu sendiri oleh kita semua sebagai bangsa Indonesia.

Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Menurut pelukis batik Amri Yahya dalam Musman (2011) mendefinisikan batik sebagai karya seni yang banyak memanfaatkan unsure menggambar ornamen pada kain dengan proses tutup celup (Wax-resist dyeing) dengan menggunakan malam pada kain yang berisikan motif-motif ornamentatif. Setidaknya ada dua pengertian batik. Pertama, batik merupakan teknik tutup-celup (resist technique) dalam pembentukan gambar kain. Menggunakan lilin sebagai perintang dan zat pewarna bersuhu dingin sebagai bahan pewarna desain pada katun. Kedua, batik adalah sekumpulan desain yang sering digunakan dalam pembatikan pada pengertian pertama tadi, yang kemudian berkembang menjadi cirri khas desain tersendiri walaupun desain tersebut tidak lagi dibuat di atas katun dan tidak lagi menggunakan lilin.

Batik di Indonesia penuh dengan keragaman latar belakang sejarah dan budaya dari daerah-daerah di Indonesia. Tiap batik dari daerah yang berbeda tidak bisa dibandingkan keindahannya sebab masing-masing memiliki kekayaan corak yang unik dan khas sehingga para pencinta batik dapat mengatakan cirri-ciri suatu motif hanya dengan melihat sekilas. Keunikan dan keindahan karya batik, terutama yang telah berkembang di Jawa yang harus terus digali, semakin memperkaya  keanekaragaman batik Indonesia. Beberapa wilayah provinsi di Indonesia seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur memiliki keanekaragaman batik, misalnya batik Garutan, Pacitan, Tuban, Lasem, Pati, Kudus, Demak, Semarang, Batang, Pekalongan, Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu, Slawi, Banjarnegara, Sokaraja, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Imogiri, Bantulan, Bayat, Solo, Sragen, Wonogiri, Sukoharjo, Tulungagung, Sidoarjo (Musman & Ambar, 2011).

Batik Cirebon keberadannya berawal dari lingkungan keraton, pada saat itu kegiatan membatik hanya dilakukan oleh kerabat  keluarga keraton serta para abdi dalem. Motif yang digunakan dalam aplikasi batik ini merupakan motif-motif berupa benda yang ada dilingkungan keraton seperti motif wadasan (berupa motif awan atau batu cadas), motif singa barong dan paksi naga liman (motif yang terinspirasi dari kendaraan kerajaan) dan masih banyak motif lainnya. Motif-motif tersebut kaya akan arti filosofis dan sarat akan makna kehidupan. Motif-motif ini dikenal dengan motif Batik Cirebon Klasik. Lambat laun kegiatan membatik tidak hanya dilakukan oleh kerabat keluarga keraton saja namun kegiatan membatik ini dilakukan juga oleh pribumi atau masyarakat biasa. Kegiatan membatik yang terjadi dikalangan pribumi ini terjadi karena para abdi dalam memberikan keterampilan membatik ini sembari menyebarkan atau mensyiarkan agama islam.

Tokoh yang ikut serta mengenalkan batik ke masyarakat pribumi ini adalah Ki Gede Trusmi. Pada awalnya kegiatan membatik dikerjakan oleh anggota tarekat yang mengabdi pada keraton, sebagai sumber ekonomi untuk membiayai tarekat tersebut. Para pengikut Tarekat ini tinggal disekitar daerah Plered tepatnya daerah Trusmi. Sampai saat ini daerah tersebut merupakan sentral produksi batik utama di Cirebon. Motif-motif yang berkembang lebih berwarna dan banyak dipengaruhi budaya luar. Motif yang berkembang ini menjadi cirri khas tersendiri dan dikenal dengan Motif Batik Pesisiran. Motif ini sangat beragam dan kaya, biasanya mengandung unsure flora, fauna, atau menggambarkan aktifitas kegiatan manusia sehari-hari. Warna yang dihadirkan dalam jenis batik ini juga lebih beragam, namun motif batik ini secara maknawi kurang dibandingkan dengan motif Batik Klasik Cirebon.


 Batik & Maknanya

Ajining Badan dening busana,

ajining  diri dening pakarti,

ajining bangsa dening budaya,

ajining budaya dening agama.

                 (Ki Kartani Cirebon)

Kutipan di atas memiliki makna busana merupakan cerminan identitas, watak, dan kondisi social ekonomi pemakainya, juga merupakan indicator moral dan budaya suatu bangsa (kompasiana, 2013). Batik merupakan salah satu busana yang digunakan oleh bangsa kita yang memiliki nilai keindahan dan kesopanan yang mencerminkan budaya bangsa kita.

Berdasarkan etimologi dan terminologinya, batik berasal dari dua kata mbat dan tik. Mbat dalam bahasa Jawa diartikan sebagai ngembat atau melempar berkali-kali, sedangkan tik berasal dari kata titik. Jadi, membatik berarti melempar titik-titik berkali-kali pada kain. Sehingga akhirnya bentuk titik-titik tersebut berhimpitan menjadi bentuk garis. Selain itu, ada juga yang berpendapat batik berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa amba yang bermakna menulis dan titik yang bermakna titik.   

Seperti yang sudah diuraikan pada pendahuluan bahwa ada dua pengertian tentang batik. Pengertian pertama bahwa batik merupakan teknik tutup celup (resist technique) dalam pembentukan gambar kain, menggunakan lilin sebagai perintang dan zat pewarna bersuhu dingin sebagai bahan pewarna desain pada katun. Kedua batik merupakan sekumpulan desain yang sering digunakan dalam pembatikan pada pengertian pertama tadi, yang kemudian berkembang menjadi cirri khas desain tersendiri walaupun desain tersebut tidak lagi dibuat di atas katun dan tidak lagi menggunakan lilin. Istilah batik bisa saja berarti satu desain tradisional bernama kawung, tetapi bukan dibuat pada kain katun melainkan teknik cetak digital pada kertas kado misalnya.

 

 Proses Pembuatan Batik

Menurut prosesnya, batik dapat digolongkan menjadi tiga macam yaitu batik tulis, batik cap dan kombinasi antara batik tulis dan batik cap. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan teknologi dan menghindari lamanya proses produksi batik, digunakan screen printing agar dapat diprodiksi dengan cepat. Walaupun begitu, produk ini tidak bisa digolongkan sebagai suatu batik tetapi dinamakan tekstil motif batik atau batik printing.

Gambar 1. Batik Tulis, Batik Cap, dan Batik Print.

Pada bahasan kali ini lebih ditekankan pada proses pembuatan batik tulis. Batik tulis dikerjakan dengan menggunakan canting. Canting merupakan alat yang terbuat dari tembaga yang dibentuk bisa menampung malam (lilin batik). Ujungnya berupa saluran/pipa kecil untuk keluarnya malam yang digunakan untuk membentuk gambar pada permukaan bahan yang akan dibatik. Pengerjaan batik tulis dibagi menjadi dua, yaitu batik tulis halus dan batik tulis kasar. Adapun alat dan bahan yang digunakan untuk membuat batik tulis, yaitu:

1.      Bandul. Bandul terbuat dari logam, misalnya besi, timah, tembaga, atau kuningan. Bisa juga menggunakan kayu atau batu. Fungsinya adalah untuk menahan kain mori yang baru dibatikagar tidak mudah ditiup angin atau tarikan pembatik secara tidak disengaja.

2.      Dingklik. Adalah tempat duduk yang digunakan untuk pembatik. Tingginya disesuaikan dengan tinggi orang yang membatik. Bangku ini biasanya terbuat dari kayu atau rotan.

3.      Gawangan. Digunakan sebagai tempat untuk menyampirkan kain. Gawangan atau yang disebut juga dengan sampiran terbuat dari kayu atau bambu. Fungsinya adalah untuk menggantungkan kain mori yang akan dibatik. Sampiran ini biasanya berbahan ringan dan mudah dipindah-pindah.

4.      Taplak. Biasanya dibuat dari kain, fungsinya adalah untuk menutup dan melindungi paha pembatik dari tetesan lilin (malam) dari canting.

5.      Meja kayu/kemplongan. Merupakan alat penghalus kain secara tradisional, yang terbuat dari kayu yang berbentuk meja. Kemplongan ini terdiri dari palu, kayu, dan penggilasan kayu. Alat ini digunakan untuk meratakan kain. Mori yang kusut sebelum diberi pola motif batik dan dibatik.

6.      Canting. Merupakan alat untuk melukis atau menggambar dengan coretan lilin/malam pada mori. Canting sebagai alat pembentuk motif halus, sedangkan kuas untuk ukuran motif besar. Canting akan sangat menentukan nama batik yang akan dihasilkan menjadi batik tulis. Alat ini terbuat dari kombinasi tembaga dan kayu atau bambu. Menurut fungsinya canting dibagi menjadi beberapa macam:

·         Canting reng-rengan.canting ini digunakan untuk membatik reng-rengan. Reng-rengan adalah batikan pertama yang sesuai dengan pola atau membatik kerangka dari motif pola dasar sebelum pembatikan selanjutnya. Pola adalah lukisan motif batik yang digunakan untuk model contoh.

·         Canting isen adalah canting untuk mengisi bidang polan. Bidang polan adalah hasil mencontoh kerangka pola batik bersama isen. Canting isen bercucuk kecil, baik tunggal maupun  rangkap.

Menurut besar kecilnya cucuk canting dibagi menjadi tiga macam yaitu canting cucuk kecil, canting cucuk sedang dan canting cucuk besar. Sedangkan menurut banyaknya cucuk canting dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu canting cecekan/titik, canting loron/ganda memiliki cucuk dua, canting telon (cucuk tiga), canting prapatan (cucuk empat), canting liman (cucuk lima), canting byok (canting bercucuk tujuh atau lebih) dan canting renteng/ galaran (bercucuk genap).

7.      Kain mori merupakan kain yang digunakan sebaagai bahan membatik yang terbuat dari kapas. Kualitas mori bermacam-macam dan jenisnya menentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan.

8.      Lilin (malam). Malam yang akan digunakan merupakan lilin yang telah dicairkan. Ada berbagai macam jenis malam yang digunakan, dan tiap jenis malam berpengaruh pada hasil dari batik. Jenis lilin yang digunakan antara lain:

·         Malam tawon yang berasal dari sarang lebah (tala tawon). Tala twon dipisahkan dari telur lebah dengan cara merebusnya.

·         Malam lancing berasal dari tawon lancing.

·         Malam timur berasal dari minyak tanah buatan pabrik

·         Malam sedang pabrikan berasal dari minyak tanah.

·         Malam putih pabrikan berasal dari minyak tanah.

·         Malam kuning pabrikan berasal dari minyak tanah.

·         Malam songkal pabrikan berasal dari minyak tanah.

·         Malam geplak pabrikan berasal dari minyak tanah.

·         Malam gandarukem pabrikan berasal dari minyak tanah.

9.      Kompor. Wajan kecil dan kompor digunakan untuk memanaskan lilin. Kompor biasanya menggunakan bahan bakar minyak tanah. Dalam perkembangannya kompor batik dibuat dengan energy listrik.

10.  Zat pewarna. Zat pewarna batik dapat berasal dari pewarna sintetis atau alami. Berikut ini merupakan daftar tabel pewarna alami.



  Sejarah Perkembangan Batik Cirebon

Di Indonesia, batik sudah ada sejak zaman Majapahit dan sangat popular pada abad ke-18 atau awal abad ke-19, batik yang dikenal saat itu adalah batik tulis. Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja di Indonesia. Pada awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton. Hasilnya digunakan untuk pakaian raja, dan keluarga, serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Sama halnya dengan perkembangan batik di Indonesia, perkembangan batik Cirebon di inisiasi oleh keluarga lingkungan keraton. Keraton-keraton yang ada di Cirebon meliputi keraton Kasepuhan, Kanoman, Keprabon dan Cirebon. Sejarah batik di Cirebon terkait erat dengan proses asimilasi budaya serta tradisi ritual religious. Prosesnya berlangsung sejak Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam di Cirebon sekitar abad ke-16. Sejarah batik Cirebon dimulai ketika pelabuhan Muara Jati (Cirebon) menjadi tempat persinggahan para pedagang dari Tiongkok, Arab, Persia, dan India. Saat itu terjadi asimilasi dan akulturasi beragam budaya yang menghasilkan banyak tradisi baru bagi masyarakat Cirebon.

Pernikahan Putri Ong Tien dan Sunan Gunung Jati merupakan awal masuknya budaya dan tradisi Tiongkok (Cina) ke keraton. Ketika itu, keraton menjadi pusat sehingga idea tau gagasan, pernak pernik tradisi, dan budaya Cina yang masuk bersama putri Ong Tien menjadi pusat perhatian para seniman Cirebon. Pernak-pernik Cina yang dibawa putri Ong Tien sebagai persembahan kepada Sunan Gunung Jati menjadi inspirasi para seniman termasuk para pembatik. Beberapa motif hasil inspirasi para pembatik tersebut adalah motif burung hong (phoenix),  liong (naga), kupu-kupu, kilin dan banji (swastika atau symbol kehidupan abadi). Dan motif yang paling terkenal dan monumental adalah motif mega mendung.

Persentuhan budaya cina dengan seniman batik di Cirebon melahirkan motif batik baru khas Cirebon dengan motif Cina sebagai inspirasi. Seniman batik Cirebon kemudian mengolahnya dengan cita rasa masyarakat setempat yang beragama islam. Dari situlah, lahir motif batik dengan ragam hias dan keunikan khas, seperti Paksi naga liman, Wadasan, banji, patran kangkung, singa barong, ayam alas, serta motif lainnya.

Sejarah batik di Cirebon juga terkait perkembangan gerakan tarekat yang konon berpusat di Banjarmasin, Kalimantan. Tokoh yang mengembangkan kesenian Batik di luar keraton adalah Ki Gede Trusmi, beliau mengembangkan batik dalam rangka syiar penyebaran agama islam. Sampai saat ini wilayah yang dijadikan pengembangan syiar masih tetap aktif memproduksi batik. Daerah tersebut berada di desa Trusmi kecamatan Plered, Cirebon.