Rumah Adat Sumatera
Utara
Anjungan Propinsi Sumatera Utara di Taman Mini Indonesia Indah memiliki
4 buah anjungan bangunan rumah adat, yaitu rumah adat Batak Toba, Nias, Batak Karo,
dan Batak Simalungun. Bangunan lain yang terdapat di anjungan ini adalah tiruan
dari tempat peranginan (PancaPersada) suku Melayu.
1. Rumah
Adat Batak Toba (Rumah Bolon)
Rumah ini terdiri atas dua bagian yaitu jabu parsakitan dan jabu
bolon.Jabu parsakitan adalah
tempat penyimpanan barang.Tempat ini juga terkadang dipakai sebagai tempat
untuk pembicaraan terkait dengan hal-hal adatJabu bolon adalah rumah keluarga besar. Rumah ini tidak memiliki sekat atau
kamar sehingga keluarga tinggal dan tidur bersama. Rumah adat Batak Toba juga dikenal sebagai Rumah Bolon.
Pembangunan rumah adat suku Batak ini dilakukan secara gotong
royong oleh masyarakat Batak.Bagi masyarakat Batak, rumah ini tampak seperti sekor kerbau yang sedang berdiri. Rumah
ini berbentuk seperti rumah panggung yang disangga oleh beberapa tiang
penyangga. Tiang penyangga rumah
biasanya terbuat dari kayu. Rumah
Balai Batak Toba mempunyai bahan dasar
dari kayu. Menurut kepercayaan
masyarakat Batak, rumah ini terbagi kedalam tiga bagian yang mencerminkan dunia atau dimensi yang
berbeda-beda. Bagian pertama
yaitu atap rumah yang diyakini mencerminkan dunia para dewa. Bagian
kedua yaitu lantai rumah yang diyakini mencerminkan dunia manusia. Bagian yang ketiga adalah bagian bawah
rumah atau kolong rumah yang
mencerminkan dunia kematian (Mahmud, 2015).
Di bagian depan rumah bolon dihiasi ukiran dan lukisan yang
dinamakan dengan gorga (Putriasti, 2015). Gorga tersebut berupa
lukisan berwarna merah, hitam, dan putih.Lukisan tersebut bergambar hewan,
seperti cicak dan kerbau. Lukisan tersebut memiliki makna, hewan cicak bermakna
orang Batak mampu bertahan hidup di manapun ia berada, meski merantau ke tempat
jauh sekalipun. Hal ini dikarenakan orang Batak memiliki rasa persaudaraan yang
sangat kuat dan tidak terputus antar sesama sukunya.Sedangkan gambar kerbau
memiliki makna sebagai ucapan terima kasih atas bantuan kerbau yang telah
membantu manusia dalam pekerjaaan di ladang.
Gorga batak toba merupakan ornament
batak toba berupa kesenian ukir atau pahat yang biasanya terdapat pada bagian
luar (eksterior) rumah adat batak toba atau rumah bolon. Ornament atau hiasan
ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, atau ada yang berupa gambar
saja. Warna yang digunakan selalu menggunakan warna merah, putih dan hitam
(Pramita, 2015).
- Cat Warna Merah diambil dari batu hula, sejenis batu alam yang berwarna merah yang tidak dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk menjadi halus seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air, lalu dioleskan ke ukiran itu. Warna ini memiliki makna kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga lahir kebijaksanaan.
- Cat Warna Putih diambil dari tanah yang berwarna Putih, tanah yang halus dan lunak dalam bahasa Batak disebut Tano Buro. Tano Buro ini digiling sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga tampak seperti cat tembok pada masa kini. Warna ini memiliki makna kejujuran yang tulus sehingga lahir kesucian.
- Cat Warna Hitam diperbuat dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk sampai halus serta dicampur dengan abu periuk atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan seperti cat tembok hitam pada zaman sekarang. Warna ini melambangkan kewibawaan yang melahirkan kepemimpinan.
2. Rumah Adat Nias (Omo Sebua dan Omo Hada)
Rumah Adat Nias terdiri dari dua
macam yaitu Omo Hada dan Omo Sebua.Omo Hada merupakan rumah adat suku nias pada umumnya sedangkan Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa
dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi.Omo sebua didesain secara khusus untuk
melindungi penghuninya dari pada serangan pada saat terjadinya perang suku pada
zaman dahulu.Akses masuk kerumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu
jebakan.Bentuk atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain
digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui
tahan terhadap goncangan gempabumi (Trinimalaningrum, 2015).
Rumah Adat Nias memiliki bentuk konstruksi bangunan yang
unik, yaitu tahan terhadap gempa. Hal tersebut dibuktikan ketika gempa melanda
perairan sumatera yang terjadi Desember 2004 silam, bangunan Rumah Adat Nias
baik Omo Hada maupun Omo Sebua tetap kokoh berdiri.
Omo Hada adalah konstruksi yang
lahir dari kepiawaian masyarakat adat Nias.Sistem pondasi Omo Hada
dibuat berdasarkan tinjauan kelenturan secara umpak, yakni batu-batu disusun
rapi dan tidak ditanam di tanah.Susunan bebatuan inilah yang menjadi tumpuan
bagi tiang-tiang kayu. Ketika gempa dahsyat terjadi, tiang tersebut tidak mudah
patah karena tiang tersebut mengikuti gaya horizontal gempa. Agar pengaruh
gempa bisa diredam, dibuat tiang menyilang (diwa) yang berfungsi
sebagai penyangga rumah dan penguat.Omo Hada sangat cocok dibangun di
sekitar gunung api karena fungsi diwa juga dimaksudkan untuk memperkuat
terpaan angin di dataran tinggi yang memiliki angin kencang. Diwa tidak
ditancapkan di tanah, tetapi ditempatkan di atas batu keras.
Setiap Omo Hada memiliki
enam tiang utama yang menyangga seluruh bangunan.Empat tiang tampak di ruang
tengah rumah, sedang dua tiang lagi tertutup oleh papan dinding kamar utama.Dua
tiang di tengah rumah itu disebut simalambuo berupa kayu bulat yang menjulang
dari dasar hingga ke puncak rumah.Dua tiang lagi adalah manaba berasal
dari pohon berkayu keras dipahat empatsegi, demikian pula dua tiang yang berada
di dalam kamar utama.Setiap tiang mempunyai lebar dan panjang tertentu satu
dengan lainnya.
Rumah-rumah adat di Nias juga tidak
memiliki jendela. Sekelilingnya hanya diberi teralis kayu tanpa dinding,
sehingga setiap orang di luar rumah dapat mengetahui siapa yang berada di
dalamnya. Desain ini menandakan orang Nias bersikap terbuka, jadi siapa pun di
desa dapat mengetahui acara-acara di dalam rumah, terutama yang berkaitan
dengan adat dan masalah masyarakat setempat. Biasanya pemilik rumah bersama
ketua adat duduk di bangku memanjang di atas lantai yang lebih tinggi - disebut
sanuhe - sambil bersandar ke kayu-kayu teralis, sedangkan yang lainnya
duduk di lantai lebih rendah atau disebut sanari. Setiap acara adat akan berlangsung
di dalam rumah, terlebih dulu seisi kampung diundang dengan membunyikan faritia
(gong) yang tergantung di tengah rumah. Faritia di rumah adat Nias Selatan
dilengkapi oleh fondrahi, yaitu tambur besar sebagaimana terlihat di omo
sebua - rumah besar untuk raja dan bangsawan - di Desa Bawomatoluo, Teluk
Dalam.Segi artistik juga menjadi perhatian dalam pembangunan Omo Hada.
Banyak kayu berukir menghias interior dan eksterior rumah.Ini menandakan orang
Nias mempunyai rasa seni tinggi.
3. Rumah
Adat Batak Karo
Salah satu rumah
adat yang menarik ialah rumah adat Batak Karo.Rumah Adat Karo Sumatera Utara
ini dikenal juga sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh
Jabu memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami delapan keluarga (Nangin,
2013). Masing-masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam rumah tersebut. Rumah
Adat Karo Sumatera Utara ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan
kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian
sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo.
Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat Karo Sumatera
Utara ditentukan oleh adat Karo. Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas jabu jahe
(hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu
jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Tetapi, ada kalanya Rumah
Adat Karo Sumatera Utara terdiri atas delapan ruang dan dihuni oleh delapan
keluarga. Sementara dalam rumah ini hanya ada empat dapur. Masing-masing jabu dibagi dua sehingga
terbentuk jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar
bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
Rumah adat Siwaluh Jabu, Rumah Adat Karo Sumatera
Utara.Rumah ini bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu
keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak
ada sekatan satu ruangan lepas. Namun
pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat
yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai
keterangan nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah
ditentukan pula oleh adat (Nangin, 2013). Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh
jabu adalah sebagai berikut :
1)
Jabu Bena Kayu merupakan tempat bagi
keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta).
Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh
anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan
penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan
pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah.
2)
Jabu Ujung Kayu merupakan tempat bagi
Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung Kayu
berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah
dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau
nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu
ujung Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan
dalam rumah maupun di dalam lingkup adat.
3)
Jabu Lepar Bena Kayu merupakan tempat
bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena Kayu disebut juga
Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini
masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena Kayu berperan untuk
mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi kabar
kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta
seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang, maka Jabu Lepar
Bena Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya
kepada Jabu Bena Kayu.
4)
Jabu Lepar Ujung Kayu merupakan tempat
bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu
ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu.
Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur
adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak
yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu
Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja
hanya hadir untuk makan dan minum.
5)
Jabu Sedapuren Bena Kayumerupakan tempat
bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena Kayu juga
disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan). Perannya adalah
untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para
anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena
Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota
Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.
6)
Jabu Sedapuren Ujung Kayumerupakan
tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut
juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan
dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan
ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga
ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang
menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.
7)
Jabu Sedapuren Lepar Bena Kayumerupakan
tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar
Bena Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu
Sedapuren Lepar Bena Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam
menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai
penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan
sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat.
8) Jabu
Sedapuren Lepar Ujung Kayumerupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib).
Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu juga disebut Jabu Bicara guru (yang
mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu berperan sebagai
penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan
dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan
buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga
berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan
upacara-upacara yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo
jaman dahulu. Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung Kayu atau Jabu Bicara
Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan
masyarakat Karo pada jaman dahulu.
Rumah Adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni
arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen-ornamennya yang
kaya akan nilai-nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna Rumah Adat Karo
menggambarkan hubungan yang erat antara masyrakat Karo dengan sesamanya dan
antara manusia dengan alam lingkungannya. Pemilihan bahan untuk membangun
Rumah Adat Karo serta proses pembangunannya yang tanpa menggunakan paku besi
atau pengikat kawat, melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah
keunikan Rumah Adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku
lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat
megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur
oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat. Selain itu, keunikan
rumah ini ialah tidak adanya sekat yang membatasi setiap ruangan. Akan tetapi,
pembagian tersebut menggunakan garis-garis adat yang sangat kuat, meskipun
tidak terlihat. Setiap ruangan sudah memiliki nama dan siapa saja yang harus
menempati ruangan tersebut.
Umumnya di
setiap rumah adat ini terdapat empat buah dapur yang masing-masing digunakan
oleh dua keluarga, yaitu oleh jabu-jabu yang bersebelahan. Tiap dapur terdiri
dari lima buah batu yang diletakkan sebagai tungku berbentuk dua segi tiga
bertolak belakang. Segi tiga tersebut melambangkan rukuh sitelu atau singkep
sitelu yaitu tali pengikat antara tiga kelompok keluarga. Kalimbuhu, senina dan anak beru atau
Sebayak.
Dinding rumah
dibuat miring, berpintu dan jendela yang terletak di atas balok keliling. Atap
rumah berbentuk segitiga dan bertingkat tiga, juga melembangkan rukut-sitelu. Pada
setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan
kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah
di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan
senasib sepenanggungan.
Bagian atap yang
berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya
pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut,
dengan warna tradisional merah, putih dan hitam.Hiasan lainnya adalah pada
kusen pintu masuk. Biasanya dihiasi dengan ukiran telur dan panah. Tali-tali
penginkat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau
rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala
saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga
rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah
mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.
Rumah adat
Siwaluh jabu yang selalu bertangga dengan jumlah anak tangga ganjil, dihuni
oleh keluarga di mana anak-anak tidur dengan orang tuanya sampai berumur 14
tahun. Bagi anak laki-laki dewasa atau bujangan tidur di tempat lain yang
disebut Jambur, begitu pula tamu laki-laki. Jambur sebenarnya lumbung padi yang
dipergunakan untuk tidur, bermusyawarah dan istirahat para perempuan dan
laki-laki.
4. Rumah
Adat Batak Simalungun
Rumah adat Simalungun pada dasarnya
hampir sama dengan rumah adat Batak Toba, karena daerahnya terletak antara pemukiman
suku Batak Karo dan suku Batak Toba.(Toruan, 2012). Dalam bidang arsitektur Simalungun
mempunyai ciri khas pada bangunan, yaitu konstruksi bagian bawah atau kaki
bangunan selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan,
dengan cara silang menyilang dari sudut ke sudut.
Ciri
khas lainnya adalah bentuk atap di mana pada anjungan diberi limasan berbentuk
kepala kerbau lengkap dengan tanduknya.Di samping itu pada bagian-bagian rumah
lainnya diberi hiasan berupa lukisan-lukisan yang berwarna-warni yaitu merah,
putih dan hitam. Ragam hias rumah bolon Simalungun antara lain hiasan Sulempat
pada tepian dinding bagian bawah, hiasan saling berkaitan. Kemudian hiasan
hambing marsibak yaitu kambing berkelahi. Hiasan
Sulempat dan Hambing Marsibak menggambarkan kehidupan yang kait-berkait
sehingga melahirkan kekuatan dan kesatuan yang tidak tergoyahkan. Hiasan
pada bagian tutup keyong dengan motif segitiga, motif cicak, ipan-ipan serta
motif ikal yang menyerupai tumbuhan menjalar.Biasanya pada bagian ini diberi
hiasan kepala manusia yang disebut bohi-bohi, sebagai pengusir hantu. Seperti
halnya hiasan ipan-ipan yang menggambarkan segi-segi runcing mempunyai maksud
untuk menghambat hantu-hantu yang akan masuk rumah.
5.Tempat
Peranginan (Panca Persada) Melayu
Panca
persada atau tempat peranginan merupakan rumah balai yang digunakan untuk
pertemuan anggota masyarakat.
Rumah Adat Melayu ini memiliki
bentuk atap pada kedua ujung perabung rumah induk dibuat agak terjungkit ke
atas dan pada bagian bawah bubungan atapnya melengkung. Pada ujung rabung yang
terjungkit diberi papan yang berukir berfungsi sebagai penutup ujung kayu
perabung. Perabung pada atap ini memiliki bentuk lurus sebagai lambing lurusnya
hati orang melayu. Ornament paling khas dirumah melayu ini adalah pintu atau
jendelanya yang dikenal dengan bulak, dihias dengan bentuk ukiran yang indah.
Jendela lazim disebut tingkap atau pelinguk. bentuknya sama seperti pintu
tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih rendah. Daun jendela dapat terdiri atas
dua atau satu lembar daun jendela. Ketinggian letak jendela di dalam suatu
rumah tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini adakalanya disebabkan oleh
perbedaan ketinggian lantai, adapula yang berkaitan dengan adat istiadat. Umumnya
jendela tengah dirumah induk lebih tinggi dari jendela lainnya. Jendela
mengandung makna tertentu pula. Jendela yang sengaja dibuat setinggi orang
dewasa berdiri dilantai, melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang baik
dan patut dan tahu adat dan tradisinya. Sedangkan letak yang rendah
melambangkan pemilik bangunan adalah orang yang ramah, selalu menerima tamu
dengan ikhlas dan terbuka.