Friday, 22 January 2016

Rumah Adat Sumatera Utara

Rumah Adat Sumatera Utara
Anjungan Propinsi Sumatera Utara di Taman Mini Indonesia Indah memiliki 4 buah anjungan bangunan rumah adat, yaitu rumah adat Batak Toba, Nias, Batak Karo, dan Batak Simalungun. Bangunan lain yang terdapat di anjungan ini adalah tiruan dari tempat peranginan (PancaPersada) suku Melayu.

1. Rumah Adat Batak Toba (Rumah Bolon)

Rumah ini terdiri atas dua bagian yaitu jabu parsakitan dan jabu bolon.Jabu parsakitan adalah tempat penyimpanan barang.Tempat ini juga terkadang dipakai sebagai tempat untuk pembicaraan terkait dengan hal-hal adatJabu bolon adalah rumah keluarga besar. Rumah ini tidak memiliki sekat atau kamar sehingga keluarga tinggal dan tidur bersama. Rumah adat Batak Toba  juga dikenal sebagai Rumah Bolon.
Pembangunan rumah adat suku Batak ini dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat Batak.Bagi masyarakat Batak, rumah ini tampak seperti sekor kerbau yang sedang berdiri. Rumah ini berbentuk seperti rumah panggung yang disangga oleh beberapa tiang penyangga. Tiang penyangga rumah biasanya terbuat dari kayu. Rumah Balai Batak Toba  mempunyai bahan dasar dari kayu. Menurut kepercayaan masyarakat Batak, rumah ini terbagi kedalam tiga bagian  yang mencerminkan dunia atau dimensi yang berbeda-beda. Bagian pertama yaitu atap rumah yang diyakini mencerminkan dunia para dewa. Bagian kedua yaitu lantai rumah yang diyakini mencerminkan dunia manusia. Bagian yang ketiga adalah bagian bawah rumah atau kolong rumah yang  mencerminkan dunia kematian (Mahmud, 2015).
Di bagian depan rumah bolon dihiasi ukiran dan lukisan yang dinamakan dengan gorga (Putriasti, 2015). Gorga tersebut berupa lukisan berwarna merah, hitam, dan putih.Lukisan tersebut bergambar hewan, seperti cicak dan kerbau. Lukisan tersebut memiliki makna, hewan cicak bermakna orang Batak mampu bertahan hidup di manapun ia berada, meski merantau ke tempat jauh sekalipun. Hal ini dikarenakan orang Batak memiliki rasa persaudaraan yang sangat kuat dan tidak terputus antar sesama sukunya.Sedangkan gambar kerbau memiliki makna sebagai ucapan terima kasih atas bantuan kerbau yang telah membantu manusia dalam pekerjaaan di ladang.
Gorga batak toba merupakan ornament batak toba berupa kesenian ukir atau pahat yang biasanya terdapat pada bagian luar (eksterior) rumah adat batak toba atau rumah bolon. Ornament atau hiasan ini ada yang berupa ukiran kemudian diberi warna, atau ada yang berupa gambar saja. Warna yang digunakan selalu menggunakan warna merah, putih dan hitam (Pramita, 2015).
  • Cat Warna Merah diambil dari batu hula, sejenis batu alam yang berwarna merah yang tidak dapat ditemukan disemua daerah. Cara untuk mencarinya pun mempunyai keahlian khusus. Batu inilah ditumbuk menjadi halus seperti tepung dan dicampur dengan sedikit air, lalu dioleskan ke ukiran itu. Warna ini memiliki makna kecerdasan dan wawasan yang luas sehingga lahir kebijaksanaan.
  • Cat Warna Putih diambil dari tanah yang berwarna Putih, tanah yang halus dan lunak dalam bahasa Batak disebut Tano Buro. Tano Buro ini digiling sampai halus serta dicampur dengan sedikit air, sehingga tampak seperti cat tembok pada masa kini. Warna ini memiliki makna kejujuran yang tulus sehingga lahir kesucian.
  • Cat Warna Hitam diperbuat dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang ditumbuk sampai halus serta dicampur dengan abu periuk atau kuali. Abu itu dikikis dari periuk atau belanga dan dimasukkan ke daun-daunan yang ditumbuk tadi, kemudian digongseng terus menerus sampai menghasilkan seperti cat tembok hitam pada zaman sekarang. Warna ini melambangkan kewibawaan yang melahirkan kepemimpinan.
Terdapat 2 jenis gorga berdasarkan cara pembuatannya yaitu, Gorga Uhir yaitu Gorga yang dipahatkan dengan memakai alat pahat dan setelah siap dipahat baru diwarnai. Gorga Dais yaitu Gorga yang dilukiskan dengan cat.

2. Rumah Adat Nias (
Omo Sebua dan Omo Hada)
Rumah Adat Nias terdiri dari dua macam yaitu Omo Hada dan Omo Sebua.Omo Hada merupakan rumah adat suku nias pada umumnya sedangkan Omo sebua adalah rumah yang khusus dibangun untuk kepala adat desa dengan tiang-tiang besar dari kayu besi dan atap yang tinggi.Omo sebua didesain secara khusus untuk melindungi penghuninya dari pada serangan pada saat terjadinya perang suku pada zaman dahulu.Akses masuk kerumah hanyalah tangga kecil yang dilengkapi pintu jebakan.Bentuk atap rumah yang sangat curam dapat mencapai tinggi 16 meter. Selain digunakan untuk berlindung dari serangan musuh, omo sebua pun diketahui tahan terhadap goncangan gempabumi (Trinimalaningrum, 2015).
Rumah Adat Nias memiliki bentuk konstruksi bangunan yang unik, yaitu tahan terhadap gempa. Hal tersebut dibuktikan ketika gempa melanda perairan sumatera yang terjadi Desember 2004 silam, bangunan Rumah Adat Nias baik Omo Hada maupun Omo Sebua tetap kokoh berdiri.
Omo Hada adalah konstruksi yang lahir dari kepiawaian masyarakat adat Nias.Sistem pondasi Omo Hada dibuat berdasarkan tinjauan kelenturan secara umpak, yakni batu-batu disusun rapi dan tidak ditanam di tanah.Susunan bebatuan inilah yang menjadi tumpuan bagi tiang-tiang kayu. Ketika gempa dahsyat terjadi, tiang tersebut tidak mudah patah karena tiang tersebut mengikuti gaya horizontal gempa. Agar pengaruh gempa bisa diredam, dibuat tiang menyilang (diwa) yang berfungsi sebagai penyangga rumah dan penguat.Omo Hada sangat cocok dibangun di sekitar gunung api karena fungsi diwa juga dimaksudkan untuk memperkuat terpaan angin di dataran tinggi yang memiliki angin kencang. Diwa tidak ditancapkan di tanah, tetapi ditempatkan di atas batu keras.
Setiap Omo Hada memiliki enam tiang utama yang menyangga seluruh bangunan.Empat tiang tampak di ruang tengah rumah, sedang dua tiang lagi tertutup oleh papan dinding kamar utama.Dua tiang di tengah rumah itu disebut simalambuo berupa kayu bulat yang menjulang dari dasar hingga ke puncak rumah.Dua tiang lagi adalah manaba berasal dari pohon berkayu keras dipahat empatsegi, demikian pula dua tiang yang berada di dalam kamar utama.Setiap tiang mempunyai lebar dan panjang tertentu satu dengan lainnya.
Rumah-rumah adat di Nias juga tidak memiliki jendela. Sekelilingnya hanya diberi teralis kayu tanpa dinding, sehingga setiap orang di luar rumah dapat mengetahui siapa yang berada di dalamnya. Desain ini menandakan orang Nias bersikap terbuka, jadi siapa pun di desa dapat mengetahui acara-acara di dalam rumah, terutama yang berkaitan dengan adat dan masalah masyarakat setempat. Biasanya pemilik rumah bersama ketua adat duduk di bangku memanjang di atas lantai yang lebih tinggi - disebut sanuhe - sambil bersandar ke kayu-kayu teralis, sedangkan yang lainnya duduk di lantai lebih rendah atau disebut sanari. Setiap acara adat akan berlangsung di dalam rumah, terlebih dulu seisi kampung diundang dengan membunyikan faritia (gong) yang tergantung di tengah rumah. Faritia di rumah adat Nias Selatan dilengkapi oleh fondrahi, yaitu tambur besar sebagaimana terlihat di omo sebua - rumah besar untuk raja dan bangsawan - di Desa Bawomatoluo, Teluk Dalam.Segi artistik juga menjadi perhatian dalam pembangunan Omo Hada. Banyak kayu berukir menghias interior dan eksterior rumah.Ini menandakan orang Nias mempunyai rasa seni tinggi.
       
       3. Rumah Adat Batak Karo
Salah satu rumah adat yang menarik ialah rumah adat Batak Karo.Rumah Adat Karo Sumatera Utara ini dikenal juga sebagai rumah adat Siwaluh Jabu. Siwaluh Jabu memiliki pengertian sebuah rumah yang didiami delapan keluarga (Nangin, 2013). Masing-masing keluarga memiliki peran tersendiri di dalam rumah tersebut. Rumah Adat Karo Sumatera Utara ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo.
Penempatan keluarga-keluarga dalam Rumah Adat Karo Sumatera Utara ditentukan oleh adat Karo. Secara garis besar rumah adat ini terdiri atas jabu jahe (hilir) dan jabu julu (hulu). Jabu jahe juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu jabu ujung kayu dan jabu rumah sendipar ujung kayu. Tetapi, ada kalanya Rumah Adat Karo Sumatera Utara terdiri atas delapan ruang dan dihuni oleh delapan keluarga. Sementara dalam rumah ini hanya ada empat dapur. Masing-masing jabu dibagi dua sehingga terbentuk jabu-jabu sedapuren bena kayu, sedapuren ujung kayu, sedapuren lepar bena kayu, dan jabu sedapuren lepar ujung kayu.
Rumah adat Siwaluh Jabu, Rumah Adat Karo Sumatera Utara.Rumah ini bertiang tinggi dan satu rumah biasanya dihuni atas satu keluarga besar yang terdiri dari 4 sampai 8 keluarga Batak. Di dalam rumah tak ada sekatan satu ruangan lepas. Namun pembagian ruangan tetap ada, yakni di batasi oleh garis-garis adat istiadat yang kuat, meski garis itu tak terlihat. Masing-masing ruangan mempunyai keterangan nama dan siapa yang harus menempati ruangan tersebut, telah ditentukan pula oleh adat (Nangin, 2013). Urutan ruangan dalam rumah Siwaluh jabu adalah sebagai berikut :
1)     Jabu Bena Kayu merupakan tempat bagi keluarga simanteki Kuta/ Bangsa Taneh (keluarga yang pertama mendirikan Kuta). Jabu Bena Kayu juga disebut Jabu Raja, posisinya sebagai pimpinan seluruh anggota Jabu dalam sebuah Rumah Adat, berperan sebagai pengambil keputusan dan penanggung jawab (baik internal maupun eksternal) untuk segala permasalahan dan pelaksanaan adat menyangkut kepentingan rumah dan seisi penghuni rumah.  
2)     Jabu Ujung Kayu merupakan tempat bagi Anak Beru (pihak perempuan/saudari) dari Jabu Bena Kayu. Jabu ujung  Kayu berperan untuk membantu Jabu Bena Kayu dalam menjaga keharmonisan seisi rumah dan mewakili Jabu Bena Kayu dalam menyampaikan perkataan atau nasehat-nasehatnya kepada setiap penghuni rumah. Dengan kata lain Jabu ujung  Kayu adalah pembantu utama dari Jabu Bena Kayu baik di dalam urusan dalam rumah maupun di dalam lingkup adat.   
3)     Jabu Lepar Bena Kayu merupakan tempat bagi pihak saudara dari Jabu Bena Kayu. Jabu Lepar Bena  Kayu disebut juga Jabu Sungkun-Sungkun Berita (Tempat bertanya Kabar/berita). Penghuni Jabu ini masih termasuk golongan bangsa taneh. Jabu Lepar Bena  Kayu berperan untuk mengawasi keadaan rumah dan keadaan Kuta (kampung) kemudian memberi  kabar kepada Jabu Bena Kayu. Jika ada permasalahan di dalam rumah atau di Kuta seperti terjadi pencurian atau akan terjadi perang,  maka Jabu Lepar Bena  Kayu harus menyelidikinya terlebih dahulu kemudian mengabarkannya kepada Jabu Bena Kayu. 
4)     Jabu Lepar Ujung Kayu merupakan tempat bagi pihak Kalimbubu (Pihak dari Klan ibu) dari Jabu Bena Kayu. Penghuni Jabu ini sangat dihormati dan disegani karena kedudukannya sebagai Kalimbubu. Kalimbubu dalam masyarakat karo merupakan derajat tertinggi dalam struktur adat. Jabu Lepar Ujung Kayu disebut juga sebagai Jabu Simangan Minem (pihak yang makan dan minum). Jika Jabu Bena Kayu mengadakan pesta adat maka Jabu Lepar Ujung Kayu akan menduduki posisi yang terhormat, dia tidak ikut bekerja hanya hadir untuk makan dan minum.   
5)     Jabu Sedapuren Bena Kayumerupakan tempat bagi anak beru menteri dari Jabu Bena Kayu. Jabu Sedapuren Bena  Kayu juga disebut Jabu Peninggel-ninggel (Pihak yang mendengarkan).  Perannya adalah untuk mendengarkan segala pembicaraan di dalam suatu Runggu (musyawarah) para anggota Rumah Adat. Selain sebagai pihak pendengar, Jabu Sedapuren Bena  Kayu juga berperan sebagai saksi untuk berbagai kepentingan setiap anggota Rumah Adat, baik di lingkup rumah maupun di lingkup Kuta.
6)     Jabu Sedapuren Ujung Kayumerupakan tempat anak atau saudara dari dari penghuni Jabu Bena Kayu. Jabu ini disebut juga sebagai Jabu Arinteneng (yang memberi ketenangan). Posisinya diharapkan dapat menjadi penengah setiap permasalahan, memberikan ketenangan dan ketentraman bagi seluruh Jabu di Rumah Adat. Jabu arinteneng sering juga ditempati oleh Penggual atau Penarune (pemain musik tradisional, yang terkadang menghibur seisi rumah dengan alunan musiknya yang menentramkan.
7)     Jabu Sedapuren Lepar Bena  Kayumerupakan tempat bagi anak atau saudara penghuni Jabu Ujung Kayu. Jabu Sedapuren Lepar Bena  Kayu juga disebut Jabu Singkapuri Belo (penyuguh sirih). Jabu Sedapuren Lepar Bena  Kayu berperan dalam membantu Jabu Bena Kayu dalam menerima dan menjamu tamunya. Jabu Singkapuri Belo secara umum berperan sebagai penerima tamu keluarga di dalam sebuah Rumah Adat dan bertugas menyuguhkan sirih bagi setiap tamu keluarga yang menghuni Rumah Adat.
8)     Jabu Sedapuren Lepar Ujung  Kayumerupakan kedudukan bagi Guru (dukun/ tabib). Jabu Sedapuren Lepar Ujung  Kayu juga disebut  Jabu Bicara guru (yang mampu mengobati). Jabu Sedapuren Lepar Ujung  Kayu berperan sebagai penasehat spiritual bagi penghuni Jabu Bena Kayu, mengumpulkan ramuan-ramuan dari alam untuk pembuatan obat-obatan bagi seisi rumah, menilik hari baik dan buruk, menyiapkan pagar (tolak bala) bagi seisi rumah, selain itu dia juga berperan dalam pelaksanaan upacara terhadap leluhur (kiniteken pemena) dan upacara-upacara  yang menyangkut dengan kepercayaan pada masyarakat karo jaman dahulu.  Jadi Jabu Sedapuren Lepar Ujung  Kayu atau Jabu Bicara Guru berperan dalam hal pengobatan dan hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan masyarakat Karo pada jaman dahulu. 
Rumah Adat Karo sangat terkenal akan keindahan seni arsitekturnya yang khas, gagah dan kokoh dihiasi dengan ornamen-ornamennya yang kaya akan nilai-nilai filosofis. Bentuk, fungsi dan makna Rumah Adat Karo menggambarkan hubungan yang erat antara masyrakat Karo dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam lingkungannya.  Pemilihan bahan untuk membangun Rumah Adat Karo serta proses pembangunannya yang tanpa menggunakan paku besi atau pengikat kawat, melainkan menggunakan pasak dan tali ijuk semakin menambah keunikan Rumah Adat Karo. Rumah adat Karo ini berbeda dengan rumah adat suku lainnya dan kekhasan itulah yang mencirikan rumah adat Karo. Bentuknya sangat megah diberi tanduk. Proses pendirian sampai kehidupan dalam rumah adat itu diatur oleh adat Karo, dan karena itulah disebut rumah adat. Selain itu, keunikan rumah ini ialah tidak adanya sekat yang membatasi setiap ruangan. Akan tetapi, pembagian tersebut menggunakan garis-garis adat yang sangat kuat, meskipun tidak terlihat. Setiap ruangan sudah memiliki nama dan siapa saja yang harus menempati ruangan tersebut.

Umumnya di setiap rumah adat ini terdapat empat buah dapur yang masing-masing digunakan oleh dua keluarga, yaitu oleh jabu-jabu yang bersebelahan. Tiap dapur terdiri dari lima buah batu yang diletakkan sebagai tungku berbentuk dua segi tiga bertolak belakang. Segi tiga tersebut melambangkan rukuh sitelu atau singkep sitelu yaitu tali pengikat antara tiga kelompok keluarga. Kalimbuhu, senina dan anak beru atau Sebayak.
Dinding rumah dibuat miring, berpintu dan jendela yang terletak di atas balok keliling. Atap rumah berbentuk segitiga dan bertingkat tiga, juga melembangkan rukut-sitelu. Pada setiap puncak dan segitiga-segitiga terdapat kepala kerbau yang melambangkan kesejahteraan bagi keluarga yang mendiaminya. Pinggiran atap sekeliling rumah di semua arah sama, menggambarkan bahwa penghuni rumah mempunyai perasaan senasib sepenanggungan.
Bagian atap yang berbentuk segitiga terbuat dari anyaman bambu disebut lambe-lambe. Biasanya pada lambe-lambe dilukiskan lambang pembuat dari sifat pemilik rumah tersebut, dengan warna tradisional merah, putih dan hitam.Hiasan lainnya adalah pada kusen pintu masuk. Biasanya dihiasi dengan ukiran telur dan panah. Tali-tali penginkat dinding yang miring disebut tali ret-ret, terbuat dari ijuk atau rotan. Tali pengikat ini membentuk pola seperti cicak yang mempunyai 2 kepala saling bertolak belakang, maksudnya ialah cicak dikiaskan sebagai penjaga rumah, dan 2 kepala saling bertolak belakang melambangkan semua penghuni rumah mempunyai peranan yang sama dan saling menghormati.
Rumah adat Siwaluh jabu yang selalu bertangga dengan jumlah anak tangga ganjil, dihuni oleh keluarga di mana anak-anak tidur dengan orang tuanya sampai berumur 14 tahun. Bagi anak laki-laki dewasa atau bujangan tidur di tempat lain yang disebut Jambur, begitu pula tamu laki-laki. Jambur sebenarnya lumbung padi yang dipergunakan untuk tidur, bermusyawarah dan istirahat para perempuan dan laki-laki.
      
       4. Rumah Adat Batak Simalungun
Rumah adat Simalungun pada dasarnya hampir sama dengan rumah adat Batak Toba, karena daerahnya terletak antara pemukiman suku Batak Karo dan suku Batak Toba.(Toruan, 2012). Dalam bidang arsitektur Simalungun mempunyai ciri khas pada bangunan, yaitu konstruksi bagian bawah atau kaki bangunan selalu berupa susunan kayu yang masih bulat-bulat atau gelondongan, dengan cara silang menyilang dari sudut ke sudut.
Ciri khas lainnya adalah bentuk atap di mana pada anjungan diberi limasan berbentuk kepala kerbau lengkap dengan tanduknya.Di samping itu pada bagian-bagian rumah lainnya diberi hiasan berupa lukisan-lukisan yang berwarna-warni yaitu merah, putih dan hitam. Ragam hias rumah bolon Simalungun antara lain hiasan Sulempat pada tepian dinding bagian bawah, hiasan saling berkaitan. Kemudian hiasan hambing marsibak yaitu kambing berkelahi. Hiasan Sulempat dan Hambing Marsibak menggambarkan kehidupan yang kait-berkait sehingga melahirkan kekuatan dan kesatuan yang tidak tergoyahkan. Hiasan pada bagian tutup keyong dengan motif segitiga, motif cicak, ipan-ipan serta motif ikal yang menyerupai tumbuhan menjalar.Biasanya pada bagian ini diberi hiasan kepala manusia yang disebut bohi-bohi, sebagai pengusir hantu. Seperti halnya hiasan ipan-ipan yang menggambarkan segi-segi runcing mempunyai maksud untuk menghambat hantu-hantu yang akan masuk rumah. 

       5.Tempat Peranginan (Panca Persada) Melayu
Panca persada atau tempat peranginan merupakan rumah balai yang digunakan untuk pertemuan anggota masyarakat.

Rumah Adat Melayu ini memiliki bentuk atap pada kedua ujung perabung rumah induk dibuat agak terjungkit ke atas dan pada bagian bawah bubungan atapnya melengkung. Pada ujung rabung yang terjungkit diberi papan yang berukir berfungsi sebagai penutup ujung kayu perabung. Perabung pada atap ini memiliki bentuk lurus sebagai lambing lurusnya hati orang melayu. Ornament paling khas dirumah melayu ini adalah pintu atau jendelanya yang dikenal dengan bulak, dihias dengan bentuk ukiran yang indah. Jendela lazim disebut tingkap atau pelinguk. bentuknya sama seperti pintu tetapi ukurannya lebih kecil dan lebih rendah. Daun jendela dapat terdiri atas dua atau satu lembar daun jendela. Ketinggian letak jendela di dalam suatu rumah tidak selalu sama. Perbedaan ketinggian ini adakalanya disebabkan oleh perbedaan ketinggian lantai, adapula yang berkaitan dengan adat istiadat. Umumnya jendela tengah dirumah induk lebih tinggi dari jendela lainnya. Jendela mengandung makna tertentu pula. Jendela yang sengaja dibuat setinggi orang dewasa berdiri dilantai, melambangkan bahwa pemilik bangunan adalah orang baik dan patut dan tahu adat dan tradisinya. Sedangkan letak yang rendah melambangkan pemilik bangunan adalah orang yang ramah, selalu menerima tamu dengan ikhlas dan terbuka.