BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kenyataan
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan budaya, beragam etnis hidup di
dalamnya, karakter dan mentalitas bangsanya yang tak seragam, tidak dapat
dipungkiri. Keragaman ini dapat dikatakan sebagai anugerah kehidupan yang patut
dijaga, dilestarikan, dikembangkan. Upaya yang bisa ditempuh tak lain adalah
dengan menumbuhkan kesadaran yang mengakar dalam jiwa dan keyakinan. Kesadaran
menempati posisi paling terdepan yang harus diprioritaskan. Tanpa kesadaran
akan pentingnya keragaman, kekayaan yang
dimiliki bangsa ini bisa musnah.
Kesadaran
multikultur dapat diwariskan dari generasi ke generasi, dan dengan begitu
peranan dunia pendidikan menjadi lebih nyata. Dunia pendidikan mengemban amanah
dan tanggungjawab besar agar generasi penerus kuat memegang kesadaran
multikultural ini. Konsekuensinya, sejak dini, generasi muda sudah harus
dididik dan diajar untuk menghayati pentingnya menjaga keragamaan budaya
Nusantara. Kesadaran generasi muda dapat direproduksi terus-menerus melalui
media pembelajaran di dunia pendidikan.
Studi-studi
tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat
rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut
mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum laki-laki. Oleh karena
itu, upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempuan dan mengajak
mereka berperan serta dalam pembangunan. Namun kenyataannya, proyek-proyek peningkatan
peran serta perempuan agak salah arah dan justru mengakibatkan beban yang
berganda-ganda bagi perempuan tanpa hasil yang memang menguatkan kedudukan
perempuan sendiri.
Dalam realitas yang kita jumpai pada masyarakat tertentu terdapat adat
kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan
dalam pendidikan formal. Bahkan ada nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan
tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya ke dapur juga.”Ada pula anggapan seorang gadis harus cepat-cepat
menikah agar tidak menjadi perawan tua. Paradigma seperti inilah yang
menjadikan para perempuan menjadi terpuruk dan dianggap rendah kaum laki-laki.
Siswa,
baik laki-laki maupun perempuan, diberi kesempatan yang sama. Perbedaan gender
dihapuskan dalam ruang pembelajaran. Seperti ungkapan aliran feminisme
tradisional yang dikutip oleh Spelman (1988), berbunyi, “jika semua manusia
adalah sama, maka semua manusia adalah setara. Tidak ada yang lebih superior
atau lebih inferior dibanding yang lainnya.” Kesadaran akan kesetaraan gender
semacam ini perlu turut ditanamkan sejak dini di dunia pendidikan dan sepanjang
proses pembelajaran.
Satu
masalah muncul, di kemudian hari, dengan adanya kenyataan di lapangan bahwa booming-nya diskursus kesetaraan gender
di tingkat global maupun nasional, tidak berbanding lurus dengan kenyataan
realitanya. Jumlah kuantitas laki-laki dan perempuan yang mengenyam pendidikan
tidak sama. Bahkan, setelah berada di dunia pendidikan itu sendiri, peserta
didik (siswa/siswi) terkendala dalam memanfaatkan kesempatan dan hak yang sama
yang telah disediakan. Di ruang-ruang seminar, perkulihan, bahkan sampai ke
tingkatan yang lebih rendah, yakni di ruang-ruang sekolah, kompetisi dan
persaingan antara laki-laki dan perempuan tidak selalu setara. Dalam arti,
kualitas dan kuantitas mereka berbeda. Hanya segelintir perempuan yang berani
‘bersuara’ di tengah kerumunan laki-laki. Atau juga, hanya segelintir perempuan
yang tampak ‘lebih unggul’ dibanding perempuan kebanyakan.
Saat
ini perbedaan gender bukan lagi jadi
tiranti perempuan kompetensinya dipandang sebelah mata, kaum perempuan mulai
muncul keeksistensiannya ditingkatan global. Ketika Margareth Thatcher menjadi
perdana menteri Inggris tahun 1979, Gerakan ini mencapai puncaknya. Akhirnya
seluruh dunia harus mengakui bahwa wanita pun dapat berdiri di puncak dan
menjadi penguasa, termasuk penguasa atas laki-laki. Hal ini telah merubah
posisi wanita dalam masyarakat. Saat itu, wanita masih di anggap sebagai warga
negara kelas dua. jadi jelas kejadian di atas adalah sebuah perubahan tatanan
sosial yang sangat drastis, dan tentu sangat positif. ini menunjukan bahwa
seseorang di akui bukan lagi karena jenis kelaminnya, tapi karena
kompentensinya.
makalah
ini tidak untuk menganalisis ‘ketimpangan’ realitas di atas, melainkan untuk
mencoba menjawab beberapa masalah yang terkait dengan perkembangan feminisme
yang dirangkum dalam rumusan masalah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan beberapa permasalah yang akan
dijawab dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimanakah
pengertian feminism dari sudut pandang landasan filsafat?
2. Bagaimanakah
perkembangan feminisme dan apa dibalik pemaknaan feminisme dari masa ke masa?
3. Bagaimanakah
perkembangan faham feminism di Indonesia ?
4. Bagaimanakah
pendidikan memandang faham feminism sebagai bagian dari landasan filsafat ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
faham feminisme sebagai bagian dari filsafat
Feminisme
adalah suatu bentuk gerakan kaum perempuan untuk memperolah persamaan derajat
dengan dan kebebasan dari penindasan lelaki dan aturan-aturan yang mereka buat.
Istilah feminisme sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Charles Fourier,
seorang sosialis Perancis yang banyak mempengaruhi perkembangan gerakan feminisme
di seluruh dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, pendefinisian istilah feminismee
menjadi sulit karena kaum feminis tidak ingin memberikan definisi yang pasti
dan seragam dengan berbagai alasan. Maggie Humm (1989), menyatakan bahwa
pendefinisian yang terlalu precise
akan cenderung menyesatkan karena proses pemaknaan merupakan usaha untuk
memperluas dan bukannya mempersempit alternatif linguistik (Thompson, 2001).
Menurut
Thompson (2001), feminisme merupakan gerakan konstruksi sosial dan bukannya
gerakan persamaan gender karena permasalahan yang diusung oleh feminisme
mengacu pada penataan sosial dan bukan biologis. Makna feminisme seringkali
disalahartikan seperti yang dikutip oleh Prabasmoro (2006) dikatakan bahwa feminisme
seringkali disalahtafsirkan: pertama, sebagai gerakan dari barat, atau bahkan
lebih dari itu diidentifikasikan sebagai Budaya Barat. Kedua, atau yang
biasanya terus mengikuti kesalahtafsiran pertama adalah bahwa feminisme merupakan
gerakan perempuan yang membenci laki-laki, pengikut seks bebas dan/atau lesbian.
Feminisme
merupakan bagian dari cabang filsafat yang dikenal dengan filsafat feminisme. Filsafat feminisme, yaitu filsafat
yang berhubungan dengan gerakan perempuan, adalah salah satu aliran yang banyak
memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Filsafat feminisme
berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminisme
adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki. Filsafat feminisme
muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan
juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill
dan Harriet Taylor dalam Tong (1998) menyatakan bahwa untuk memaksimalkan
kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap
individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling
membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor
yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai keadilan gender, maka masyarakat
harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama
dengan yang dinikmati oleh laki-laki.
Filsafat
feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan
laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan
biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan masculine-feminine
merupakan aspek perbedaan psikologis dan cultural, Ratna (2004). Kaum
feminis radikal kultural menyatakan bahwa perbedaan gender mengalir bukan
semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah
keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarchal dalam Tong
(1998). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal,
perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau liyan, sebagai manusia kelas dua (deuxième
sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden, 1985: 137). Menurut
Cavallaro (2004) Kedudukan sebagai manusia kelas dua atau liyan mempengaruhi
segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan.
Filsafat feminisme menfokuskan diri
pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki
dalam semua bidang. Filsafat ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang
terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama,
karena adanya konflik gender. Menurut Ratna (2004) Feminisme mencoba untuk
mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi,
serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima
nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba
untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok
yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan
sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai
disiplin yang berpusat pada laki-laki.
B. Perkembangan
feminisme dari masa ke masa
Gerakan feminisme yang pertama kali muncul di
Eropa dari abad ke-17 pada awalnya merupakan bentuk protes dari kaum perempuan
terhadap gereja. Pada masa itu, gereja merupakan institusi tertinggi yang
menguasai hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada dasarnya kekuasaan
gereja yang terlalu besar dan aturan-aturannya yang bersifat mutlak memang
dianggap sewenang-wenang dan menyusahkan masyarakat pada umumnya. Akan tetpai,
kaum perempuan sebagai kelompok minoritas bahkan menerima perlakuan yang lebih
tidak menyenangkan lagi karena mereka dianggap sebagai makhluk golongan kedua
setelah lelaki. Salah satu tokoh feminis yang paling awal adalah seorang wanita
bangsawan Perancis bernama Simone de Beauvoir yang menyuarakan aspirasinya
melalui karya sastra.
Para peneliti dan penulis dalam kajian
feminism memiliki versi masing-masing dalam hal pembagian gerakan feminism
dalam gelombang-gelombang yang runut. Dalam makalah ini, setelah sedikit
perkenalan mengenai kemunculan awal feminism di atas, penulis akan langsung
membahas mengenai gerakan feminism modern yang dimulai pada tahun 1960 dan
dipelopori oleh kaum perempuan intelektual di Amerika Serikat. Pada gerakan
feminism modern tersebut kaum perempuan memperjuangkan hak-hak sipil perempuan
dalam masyarakat, pendidikan dan juga politik. Tokoh-tokoh yang paling popular
pada saat itu diantaranya Virginia Woolf dan Charlotte Perkins. Selanjutnya
pada tahun 1970-an, masih di Amerika Serikat, muncul suatu gerakan feminism
yang kemudian dikenal sebagai feminism radikal karena memiliki landasan teori
dan tujuan sendiri yang tidak berdasarkan teori Marxis. Para aktifis feminism
radikal memperjuangkan pengembangan epistemology yang berperspektif feminis,
sehingga kajian women’s studies dapat
diterima oleh kalangan akademisi lain (Husna, __
).
Hingga saat ini, feminisme masih tetap
berkembang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman yang secara otomatis
juga mempengaruhi pikiran dan harapan-harapan perempuan sebagai objek yang diperjuangkan
oleh kaum feminis. Proses perkembangan yang melibatkan penyesuaian dengan
perubahan zaman yang berarti penyesuaian dengan masalah dan fenomena yang ada
inilah yang nantinya berkaitan dengan teori Habitus yang dikemukakan oleh
Pierre Bourdieu.
C. Perkembangan Feminisme di Indonesia
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa gerakan
feminism pertama di Indonesia adalah perjuangan R.A. Kartini agar kaum
perempuan diberikan hak untuk menempuh pendidikan seperti halnya kaum lelaki. Sejarah
feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas
pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa
pencerahan/The Enlightenment, oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis
den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan.
Akan
tetapi, kobaran semangat Kartini yang begitu kuat untuk menuntut persamaan hak
antara perempuan dan laki-laki tidak dapat dipungkiri merupakan sesuatu yang
pada masa itu memang belum dimiliki perempuan lain manapun di negeri ini. Oleh karena itu, gelar pelopor gerakan feminism memang sepantasnya
disandang Kartini, setidaknya ia mengawali pemikiran akan suatu kondisi sosial
masyarakat dimana manusia tidak lagi dipandang berdasarkan gender dan
diperlakukan dengan lebih buruk hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan.
Faktanya,
pada perkembangan selanjutnya di akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia,
para tokoh pergerakan perempuan yang mencetuskan diadakannya kongres perempuan
menjadikan Kartini dan pemikiran-pemikirannya sebagai landasan semangat juang
mereka. Bahkan hingga saat ini, hari Kartini diperingati dengan semangat bahwa
perempuan harus mampu mandiri dan bersaing dengan kaum laki-laki dalam setiap
aspek kehidupan. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa terlepas dari segala
kontroversi dan penolakan yang memojokkannya, Kartini secara de facto merupakan
pencetus dan penggagas pertama semangat emansipasi perempuan di Indonesia.
Jika
dibandingkan dengan gerakan feminism di negara-negara lain seperti Amerika
Serikat dan Inggris, gerakan feminism di Indonesia bisa dibilang berjalan
dengan lambat dan tenang. Apabila di Negara-negara tersebut tercatat adanya
peristiwa besar dimana perempuan melakukan demonstrasi menuntut persamaan hak
dengan laki-laki, maka di Indonesia
kita tidak pernah melihat hal-hal
seperti demikian bahkan hingga saat ini. Salah satu penyebabnya adalah fakta
bahwa di Indonesia yang budayanya sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam,
perempuan cenderung diperlakukan dengan lebih baik dibanding di Negara-negara
lain dimana kaidah-kaidah sosial hanya diatur dan dikuasai oleh kaum laki-laki
yang tentunya tidak mewakili aspirasi kaum perempuan sama sekali.
Selain
itu, perbedaan tingkat pendidikan merupakan sebab lain kenapa gerakan feminism
di Indonesia tidak sedinamis di Negara lain. Seperti diketahui, gelombang
perlawanan kaum feminis di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1960-an hingga
1970-an, saat dimana perempuan mulai meneruskan pendidikan hingga ke perguruan
tinggi. Di Indonesia, pendidikan hingga ke perguruan tinggi belum begitu
terlaksana hingga baru-baru ini, sehingga dapat dipahami mengapa perjuangan
mereka cenderung terlihat lebih lambat dan tak tampak dibanding gerakan feminis
di Negara lain.
Dewasa ini, perubahan kecenderungan gerakan
feminism yang paling terlihat adalah meningkatnya usaha-usaha yang dilakukan
feminis secara individual. Jika dulu feminism diperjuangkan dengan membentuk
kelompok-kelompok besar yang akan bergerak bersama dalam mencapai misi feminis
tertentu, saat ini banyak tokoh feminis yang berjuang sendiri dalam bidang
masing-masing. Contoh yang mungkin paling populer adalah aktifis perempuan yang
memperjuangkan nilai-nilai feminism melalui buku-buku yang ditulisnya. Dengan
cara ini, pesan yang ingin disampaikan pada masyarakat tentang konsep feminism
akan sampai dengan baik tanpa membuat kehebohan atau konflik nyata dalam
masyarakat.
Perjuangan
feminist sering disebut dengan istilah gelombang dan menimbulkan
kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave
feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah
1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Di Indonesia feminis mulai marak kira-kira 1980-an. Hal
ini terlihat dari munculnya para aktifis gerakan perempuan seperti Herawati, Wardah
Hafidz, Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi dan lain-lain.
Gerakan feminisme muncul karena adanya kesadaran bahwa dalam sejarah peradaban
manusia, termasuk Indonesia, perempuan telah diperlakukan secara kuarang adil.
Namun ironisnya, hal ini dilakukan secara sistematis dengan adanya dominasi
budaya patriarki yang begitu kuat dalam sejarah manusia.
D.
Pandangan Pendidikan terhadap Gender (Sub dari Feminisme)
Dalam deklarasai Hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa:” Setiap
orang berhak mendapatkan pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling
mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar semua bangsa,
golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan kegiatan PBB dalam
memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya pendidikan bukan hanya
dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan
bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan
demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di
masyarakat terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya pendidikan bukan
hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya
pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka
dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender
di masyarakat. Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan
dengan tuntutan zaman, yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam
ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati, dan menerapkan akar budaya bangsa,
berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan, dan keterampilan
mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik,
terbuka pada hal-hal baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang
tinggi, dan bisa meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga
diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan
dan minatnya. Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran
yang sesuai dengan bakat minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan
pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah kompetensi
dan ketrampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua
bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah
awal untuk memperjuangkan persamaan sesungguhnya.
Hak untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang gender tidak hanya
digaungkan dinegara kita saja, negara lain pun sama. Salah satu tokohnya adalah
Malala Yousafzai, seorang remaja puteri yang memperjuangkan/menyuarakan hak anak perempuan di Lembah
Swat di Pakistan untuk mendapatkan pendidikan
yang layak. Perjuangannya tersebut hampir merenggut nyawanya, dengan
menembakkan peluru ke kepala Malala. Banyak tokoh yang memperjuangkan hak yang
sama yaitu mendapatkan pendidikan yang sama tanpa memandang gender. Hal
tersebut perlu difahami bahwasanya feminisme multikultural perlu dikembangkan
di negara kita juga.
Ide tentang femenisme multikultural ini memang cocok
untuk dijadikan kacamata analisis dalam melihat upaya-upaya pembelaan dan
pemberdayaan kaum perempuan di Indonesia, mengingat bangsa ini beragam dalam kebudayaan,
tradisi, keyakinan, watak dan kepribadian. Menurut Arthur (1991) Perbedaan dan
keragaman tersebut adalah fitrah alam, dan fitrah ini tidak boleh dihilangkan
hanya atas nama persamaan. Sebaliknya, berbeda tetap bisa bersama dan setara.
Kesadaran feminisme multikultural juga sangat tepat untuk diproyeksikan sebagai
langkah awal menanamkan kesadaran kesetaraan gender melalui dunia pendidikan,
dan dalam proses pembelajaran. Kini,
sudah saatnya memikirkan bagaimana kesadaraan ini mengejawantah atau manifes
secara lebih konkrit dalam proses belajar-mengajar; yakni dalam praktek
pendidikan.
Menurut Deborah king dalam Allison (1993) Kini, sudah
saatnya menolak keyakinan feminisme tradisional, bahwa antara kaum laki-laki
dan kaum perempuan adalah setara, antara satu perempuan dengan perempuan
lainnya adalah setara. Sebab, kesetaraan yang dimaksud dalam feminisme
tradisional meniscayakan adanya kategorisasi dan karakterisasi perempuan,
sehingga perempuan di luar kategori dan karakteristik yang dibangun tersebut
dianggap bukan perempuan. Dalam konteks karier dan pekerjaan, sekedar untuk
mengambil sampel kecil, perempuan dianggap setara dengan laki-laki dalam
memperoleh hak bekerja. Kemerdekaan seorang perempuan hanya dipahami dari
kebebasannya untuk terlibat dalam dunia karier, bahkan politik. Konsepsi
tunggal semacam ini akan mengeliminir perempuan dari kebudayaan lain, yang
merasa lebih nyaman diperlakukan layaknya ‘ratu’, dimana nafkah sepenuhnya
ditanggung pihak laki-laki, atau perempuan lain dari akar historis berbeda yang
merasa lebih maksimal dalam menjalankan ‘visi dan misi’ keperempuanannya dengan
sekedar berkutat di ranah domestik, tanpa harus terlibat dalam wilayah publik.
Kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kesadaran dan formulasi teoritis yang
berbeda pula. Akan tetapi, mereka tetap sama dalam satu nama: perempuan.
BAB III
KESIMPULAN
Budaya
bias laki-laki membentuk perempuan cenderung taqlid, karenanya upaya sistematis
dan berkelanjutan tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan
menjadi semakin mendesak, akses pendidikan perempuan dan laki-laki harus
mendapatkan kesempatan yang sama. Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki
harus mempunyai hak atau kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Hal tersebut
melahirkan faham baru yang dikenal dengan feminism.
Gender di
era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan
perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak dalam pendidikan. Tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan
kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan
pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk
merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam,
manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa
membedakan jenis kelamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Alison M. Jaggar and Paula S. Rothenberg. (1993).
Feminist Frameworks, Cet. III. New
York: McGraw-Hill.
Arthur M.
Schlesinger Jr. , (1991). The Sisuniting
of America. Knoxville : Whittle Books.
Cavallaro, Dani. (2004). Critical and
Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta : Niagara
Elizabeth V. Spelman. (1988). Inessential Woman: Problems of Exclusion in
Feminisme Thought Boston: Beacon Press.
Husna, Fauziatul._____. Analisis
Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia dalam Kacamata Teori Habitus Pierre
Bourdieu. Tidak diterbitkan
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis tubuh, sastra dan pop.
Yogyakarta : Jalasutra.
Ratna, Nyoman Kutha. (2004) Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tong, Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought : Pengantar
paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj.
Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta : Jalasutra.