Tuesday, 5 November 2019

Perkembangan Feminisme dan Dampak terhadap Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kenyataan Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan budaya, beragam etnis hidup di dalamnya, karakter dan mentalitas bangsanya yang tak seragam, tidak dapat dipungkiri. Keragaman ini dapat dikatakan sebagai anugerah kehidupan yang patut dijaga, dilestarikan, dikembangkan. Upaya yang bisa ditempuh tak lain adalah dengan menumbuhkan kesadaran yang mengakar dalam jiwa dan keyakinan. Kesadaran menempati posisi paling terdepan yang harus diprioritaskan. Tanpa kesadaran akan pentingnya keragaman,  kekayaan yang dimiliki bangsa ini bisa musnah.
Kesadaran multikultur dapat diwariskan dari generasi ke generasi, dan dengan begitu peranan dunia pendidikan menjadi lebih nyata. Dunia pendidikan mengemban amanah dan tanggungjawab besar agar generasi penerus kuat memegang kesadaran multikultural ini. Konsekuensinya, sejak dini, generasi muda sudah harus dididik dan diajar untuk menghayati pentingnya menjaga keragamaan budaya Nusantara. Kesadaran generasi muda dapat direproduksi terus-menerus melalui media pembelajaran di dunia pendidikan.
Studi-studi tentang gender saat ini melihat bahwa ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan sendiri, dan hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempuan dan mengajak mereka berperan serta dalam pembangunan. Namun kenyataannya, proyek-proyek peningkatan peran serta perempuan agak salah arah dan justru mengakibatkan beban yang berganda-ganda bagi perempuan tanpa hasil yang memang menguatkan kedudukan perempuan sendiri.
Dalam realitas yang kita jumpai pada masyarakat tertentu terdapat adat kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan dalam pendidikan formal. Bahkan ada nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya ke dapur juga.”Ada pula anggapan seorang gadis harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua. Paradigma seperti inilah yang menjadikan para perempuan menjadi terpuruk dan dianggap rendah kaum laki-laki.
Siswa, baik laki-laki maupun perempuan, diberi kesempatan yang sama. Perbedaan gender dihapuskan dalam ruang pembelajaran. Seperti ungkapan aliran feminisme tradisional yang dikutip oleh Spelman (1988), berbunyi, “jika semua manusia adalah sama, maka semua manusia adalah setara. Tidak ada yang lebih superior atau lebih inferior dibanding yang lainnya.” Kesadaran akan kesetaraan gender semacam ini perlu turut ditanamkan sejak dini di dunia pendidikan dan sepanjang proses pembelajaran.
Satu masalah muncul, di kemudian hari, dengan adanya kenyataan di lapangan bahwa booming-nya diskursus kesetaraan gender di tingkat global maupun nasional, tidak berbanding lurus dengan kenyataan realitanya. Jumlah kuantitas laki-laki dan perempuan yang mengenyam pendidikan tidak sama. Bahkan, setelah berada di dunia pendidikan itu sendiri, peserta didik (siswa/siswi) terkendala dalam memanfaatkan kesempatan dan hak yang sama yang telah disediakan. Di ruang-ruang seminar, perkulihan, bahkan sampai ke tingkatan yang lebih rendah, yakni di ruang-ruang sekolah, kompetisi dan persaingan antara laki-laki dan perempuan tidak selalu setara. Dalam arti, kualitas dan kuantitas mereka berbeda. Hanya segelintir perempuan yang berani ‘bersuara’ di tengah kerumunan laki-laki. Atau juga, hanya segelintir perempuan yang tampak ‘lebih unggul’ dibanding perempuan kebanyakan.
Saat ini perbedaan gender bukan lagi jadi tiranti perempuan kompetensinya dipandang sebelah mata, kaum perempuan mulai muncul keeksistensiannya ditingkatan global. Ketika Margareth Thatcher menjadi perdana menteri Inggris tahun 1979, Gerakan ini mencapai puncaknya. Akhirnya seluruh dunia harus mengakui bahwa wanita pun dapat berdiri di puncak dan menjadi penguasa, termasuk penguasa atas laki-laki. Hal ini telah merubah posisi wanita dalam masyarakat. Saat itu, wanita masih di anggap sebagai warga negara kelas dua. jadi jelas kejadian di atas adalah sebuah perubahan tatanan sosial yang sangat drastis, dan tentu sangat positif. ini menunjukan bahwa seseorang di akui bukan lagi karena jenis kelaminnya, tapi karena kompentensinya.
makalah ini tidak untuk menganalisis ‘ketimpangan’ realitas di atas, melainkan untuk mencoba menjawab beberapa masalah yang terkait dengan perkembangan feminisme yang dirangkum dalam rumusan masalah.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat disimpulkan beberapa permasalah yang akan dijawab dalam makalah ini yaitu:
1.      Bagaimanakah pengertian feminism dari sudut pandang landasan filsafat?
2.      Bagaimanakah perkembangan feminisme dan apa dibalik pemaknaan feminisme dari masa ke masa?
3.      Bagaimanakah perkembangan faham feminism di Indonesia ?
4.      Bagaimanakah pendidikan memandang faham feminism sebagai bagian dari landasan filsafat ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian faham feminisme sebagai bagian dari filsafat
Feminisme adalah suatu bentuk gerakan kaum perempuan untuk memperolah persamaan derajat dengan dan kebebasan dari penindasan lelaki dan aturan-aturan yang mereka buat. Istilah feminisme sendiri pertama kali dipopulerkan oleh Charles Fourier, seorang sosialis Perancis yang banyak mempengaruhi perkembangan gerakan feminisme di seluruh dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, pendefinisian istilah feminismee menjadi sulit karena kaum feminis tidak ingin memberikan definisi yang pasti dan seragam dengan berbagai alasan. Maggie Humm (1989), menyatakan bahwa pendefinisian yang terlalu precise akan cenderung menyesatkan karena proses pemaknaan merupakan usaha untuk memperluas dan bukannya mempersempit alternatif linguistik (Thompson, 2001).
Menurut Thompson (2001), feminisme merupakan gerakan konstruksi sosial dan bukannya gerakan persamaan gender karena permasalahan yang diusung oleh feminisme mengacu pada penataan sosial dan bukan biologis. Makna feminisme seringkali disalahartikan seperti yang dikutip oleh Prabasmoro (2006) dikatakan bahwa feminisme seringkali disalahtafsirkan: pertama, sebagai gerakan dari barat, atau bahkan lebih dari itu diidentifikasikan sebagai Budaya Barat. Kedua, atau yang biasanya terus mengikuti kesalahtafsiran pertama adalah bahwa feminisme merupakan gerakan perempuan yang membenci laki-laki, pengikut seks bebas dan/atau lesbian.
Feminisme merupakan bagian dari cabang filsafat yang dikenal dengan filsafat feminisme. Filsafat feminisme, yaitu filsafat yang berhubungan dengan gerakan perempuan, adalah salah satu aliran yang banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan studi kultural. Filsafat feminisme berakar dari pemahaman mengenai inferioritas perempuan. Konsep kunci feminisme adalah kesetaraan antara martabat perempuan dan laki-laki. Filsafat feminisme muncul seiring dengan bangkitnya kesadaran bahwa sebagai manusia, perempuan juga selayaknya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. John Stuart Mill dan Harriet Taylor dalam Tong (1998) menyatakan bahwa untuk memaksimalkan kegunaan yang total (kebahagiaan/kenikmatan) adalah dengan membiarkan setiap individu mengejar apa yang mereka inginkan, selama mereka tidak saling membatasi atau menghalangi di dalam proses pencapaian tersebut. Mill dan Taylor yakin bahwa jika masyarakat ingin mencapai keadilan gender, maka masyarakat harus memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama dengan yang dinikmati oleh laki-laki.
Filsafat feminisme memperlihatkan dua perbedaan mendasar dalam melihat perempuan dan laki-laki. Ungkapan male-female yang memperlihatkan aspek perbedaan biologis sebagai hakikat alamiah, kodrati. Sedangkan ungkapan masculine-feminine merupakan aspek perbedaan psikologis dan cultural, Ratna (2004). Kaum feminis radikal kultural menyatakan bahwa perbedaan gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dari sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi perempuan di dalam masyarakat yang patriarchal dalam Tong (1998). Simon de Beauvoir menyatakan bahwa dalam masyarakat patriarkal, perempuan ditempatkan sebagai yang Lain atau liyan, sebagai manusia kelas dua (deuxième sexe) yang lebih rendah menurut kodratnya (Selden, 1985: 137). Menurut Cavallaro (2004) Kedudukan sebagai manusia kelas dua atau liyan mempengaruhi segala bentuk eksistensi sosial dan kultural perempuan.
Filsafat feminisme menfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam semua bidang. Filsafat ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi di masyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Menurut Ratna (2004) Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yang menimbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi, serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa. Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi, feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki, menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki.
B.     Perkembangan feminisme dari masa ke masa
Gerakan feminisme yang pertama kali muncul di Eropa dari abad ke-17 pada awalnya merupakan bentuk protes dari kaum perempuan terhadap gereja. Pada masa itu, gereja merupakan institusi tertinggi yang menguasai hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada dasarnya kekuasaan gereja yang terlalu besar dan aturan-aturannya yang bersifat mutlak memang dianggap sewenang-wenang dan menyusahkan masyarakat pada umumnya. Akan tetpai, kaum perempuan sebagai kelompok minoritas bahkan menerima perlakuan yang lebih tidak menyenangkan lagi karena mereka dianggap sebagai makhluk golongan kedua setelah lelaki. Salah satu tokoh feminis yang paling awal adalah seorang wanita bangsawan Perancis bernama Simone de Beauvoir yang menyuarakan aspirasinya melalui karya sastra.
Para peneliti dan penulis dalam kajian feminism memiliki versi masing-masing dalam hal pembagian gerakan feminism dalam gelombang-gelombang yang runut. Dalam makalah ini, setelah sedikit perkenalan mengenai kemunculan awal feminism di atas, penulis akan langsung membahas mengenai gerakan feminism modern yang dimulai pada tahun 1960 dan dipelopori oleh kaum perempuan intelektual di Amerika Serikat. Pada gerakan feminism modern tersebut kaum perempuan memperjuangkan hak-hak sipil perempuan dalam masyarakat, pendidikan dan juga politik. Tokoh-tokoh yang paling popular pada saat itu diantaranya Virginia Woolf dan Charlotte Perkins. Selanjutnya pada tahun 1970-an, masih di Amerika Serikat, muncul suatu gerakan feminism yang kemudian dikenal sebagai feminism radikal karena memiliki landasan teori dan tujuan sendiri yang tidak berdasarkan teori Marxis. Para aktifis feminism radikal memperjuangkan pengembangan epistemology yang berperspektif feminis, sehingga kajian women’s studies dapat diterima oleh kalangan akademisi lain (Husna, __ ).
Hingga saat ini, feminisme masih tetap berkembang untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman yang secara otomatis juga mempengaruhi pikiran dan harapan-harapan perempuan sebagai objek yang diperjuangkan oleh kaum feminis. Proses perkembangan yang melibatkan penyesuaian dengan perubahan zaman yang berarti penyesuaian dengan masalah dan fenomena yang ada inilah yang nantinya berkaitan dengan teori Habitus yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu.
C.     Perkembangan Feminisme di Indonesia
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa gerakan feminism pertama di Indonesia adalah perjuangan R.A. Kartini agar kaum perempuan diberikan hak untuk menempuh pendidikan seperti halnya kaum lelaki. Sejarah feminis telah dimulai pada abad 18 oleh RA Kartini melalui hak yang sama atas pendidikan bagi anak-anak perempuan. Ini sejalan dengan Barat di masa pencerahan/The Enlightenment, oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan.
            Akan tetapi, kobaran semangat Kartini yang begitu kuat untuk menuntut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki tidak dapat dipungkiri merupakan sesuatu yang pada masa itu memang belum dimiliki perempuan lain manapun di negeri ini. Oleh karena itu, gelar pelopor gerakan feminism memang sepantasnya disandang Kartini, setidaknya ia mengawali pemikiran akan suatu kondisi sosial masyarakat dimana manusia tidak lagi dipandang berdasarkan gender dan diperlakukan dengan lebih buruk hanya karena mereka terlahir sebagai perempuan.
            Faktanya, pada perkembangan selanjutnya di akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia, para tokoh pergerakan perempuan yang mencetuskan diadakannya kongres perempuan menjadikan Kartini dan pemikiran-pemikirannya sebagai landasan semangat juang mereka. Bahkan hingga saat ini, hari Kartini diperingati dengan semangat bahwa perempuan harus mampu mandiri dan bersaing dengan kaum laki-laki dalam setiap aspek kehidupan. Jadi, tidak dapat dipungkiri bahwa terlepas dari segala kontroversi dan penolakan yang memojokkannya, Kartini secara de facto merupakan pencetus dan penggagas pertama semangat emansipasi perempuan di Indonesia.
            Jika dibandingkan dengan gerakan feminism di negara-negara lain seperti Amerika Serikat dan Inggris, gerakan feminism di Indonesia bisa dibilang berjalan dengan lambat dan tenang. Apabila di Negara-negara tersebut tercatat adanya peristiwa besar dimana perempuan melakukan demonstrasi menuntut persamaan hak dengan laki-laki, maka di Indonesia kita tidak pernah melihat hal-hal seperti demikian bahkan hingga saat ini. Salah satu penyebabnya adalah fakta bahwa di Indonesia yang budayanya sangat dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, perempuan cenderung diperlakukan dengan lebih baik dibanding di Negara-negara lain dimana kaidah-kaidah sosial hanya diatur dan dikuasai oleh kaum laki-laki yang tentunya tidak mewakili aspirasi kaum perempuan sama sekali.
            Selain itu, perbedaan tingkat pendidikan merupakan sebab lain kenapa gerakan feminism di Indonesia tidak sedinamis di Negara lain. Seperti diketahui, gelombang perlawanan kaum feminis di Amerika Serikat terjadi pada tahun 1960-an hingga 1970-an, saat dimana perempuan mulai meneruskan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Di Indonesia, pendidikan hingga ke perguruan tinggi belum begitu terlaksana hingga baru-baru ini, sehingga dapat dipahami mengapa perjuangan mereka cenderung terlihat lebih lambat dan tak tampak dibanding gerakan feminis di Negara lain.
Dewasa ini, perubahan kecenderungan gerakan feminism yang paling terlihat adalah meningkatnya usaha-usaha yang dilakukan feminis secara individual. Jika dulu feminism diperjuangkan dengan membentuk kelompok-kelompok besar yang akan bergerak bersama dalam mencapai misi feminis tertentu, saat ini banyak tokoh feminis yang berjuang sendiri dalam bidang masing-masing. Contoh yang mungkin paling populer adalah aktifis perempuan yang memperjuangkan nilai-nilai feminism melalui buku-buku yang ditulisnya. Dengan cara ini, pesan yang ingin disampaikan pada masyarakat tentang konsep feminism akan sampai dengan baik tanpa membuat kehebohan atau konflik nyata dalam masyarakat.
Perjuangan feminist sering disebut dengan istilah gelombang dan menimbulkan kontroversi/perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism. Di Indonesia feminis mulai marak kira-kira 1980-an. Hal ini terlihat dari munculnya para aktifis gerakan perempuan seperti Herawati, Wardah Hafidz, Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi dan lain-lain. Gerakan feminisme muncul karena adanya kesadaran bahwa dalam sejarah peradaban manusia, termasuk Indonesia, perempuan telah diperlakukan secara kuarang adil. Namun ironisnya, hal ini dilakukan secara sistematis dengan adanya dominasi budaya patriarki yang begitu kuat dalam sejarah manusia.
D.    Pandangan Pendidikan terhadap Gender (Sub dari Feminisme)
Dalam deklarasai Hak-hak asasi manusia pasal 26 dinyatakan bahwa:” Setiap orang berhak mendapatkan pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat terkait dengan deklarasi di atas, sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat. Pendidikan memang harus menyentuh kebutuhan dan relavan dengan tuntutan zaman, yaitu kualitas yang memiliki keimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati, dan menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu pengetahuan, dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan, berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal baru, mandiri, selektif, mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, dan bisa meningkatkan prestasi. Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya. Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberi mata pelajaran yang sesuai dengan bakat minat setiap individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah kompetensi dan ketrampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan sesungguhnya.
Hak untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang gender tidak hanya digaungkan dinegara kita saja, negara lain pun sama. Salah satu tokohnya adalah Malala Yousafzai, seorang remaja puteri yang memperjuangkan/menyuarakan hak anak perempuan di Lembah Swat di Pakistan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Perjuangannya tersebut hampir merenggut nyawanya, dengan menembakkan peluru ke kepala Malala. Banyak tokoh yang memperjuangkan hak yang sama yaitu mendapatkan pendidikan yang sama tanpa memandang gender. Hal tersebut perlu difahami bahwasanya feminisme multikultural perlu dikembangkan di negara kita juga.
Ide tentang femenisme multikultural ini memang cocok untuk dijadikan kacamata analisis dalam melihat upaya-upaya pembelaan dan pemberdayaan kaum perempuan di Indonesia, mengingat bangsa ini beragam dalam kebudayaan, tradisi, keyakinan, watak dan kepribadian. Menurut Arthur (1991) Perbedaan dan keragaman tersebut adalah fitrah alam, dan fitrah ini tidak boleh dihilangkan hanya atas nama persamaan. Sebaliknya, berbeda tetap bisa bersama dan setara. Kesadaran feminisme multikultural juga sangat tepat untuk diproyeksikan sebagai langkah awal menanamkan kesadaran kesetaraan gender melalui dunia pendidikan, dan  dalam proses pembelajaran. Kini, sudah saatnya memikirkan bagaimana kesadaraan ini mengejawantah atau manifes secara lebih konkrit dalam proses belajar-mengajar; yakni dalam praktek pendidikan.
Menurut Deborah king dalam Allison (1993) Kini, sudah saatnya menolak keyakinan feminisme tradisional, bahwa antara kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah setara, antara satu perempuan dengan perempuan lainnya adalah setara. Sebab, kesetaraan yang dimaksud dalam feminisme tradisional meniscayakan adanya kategorisasi dan karakterisasi perempuan, sehingga perempuan di luar kategori dan karakteristik yang dibangun tersebut dianggap bukan perempuan. Dalam konteks karier dan pekerjaan, sekedar untuk mengambil sampel kecil, perempuan dianggap setara dengan laki-laki dalam memperoleh hak bekerja. Kemerdekaan seorang perempuan hanya dipahami dari kebebasannya untuk terlibat dalam dunia karier, bahkan politik. Konsepsi tunggal semacam ini akan mengeliminir perempuan dari kebudayaan lain, yang merasa lebih nyaman diperlakukan layaknya ‘ratu’, dimana nafkah sepenuhnya ditanggung pihak laki-laki, atau perempuan lain dari akar historis berbeda yang merasa lebih maksimal dalam menjalankan ‘visi dan misi’ keperempuanannya dengan sekedar berkutat di ranah domestik, tanpa harus terlibat dalam wilayah publik. Kebudayaan yang berbeda akan melahirkan kesadaran dan formulasi teoritis yang berbeda pula. Akan tetapi, mereka tetap sama dalam satu nama: perempuan.


BAB III
KESIMPULAN
Budaya bias laki-laki membentuk perempuan cenderung taqlid, karenanya upaya sistematis dan berkelanjutan tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin mendesak, akses pendidikan perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan yang sama. Anak perempuan, sebagaimana anak laki-laki harus mempunyai hak atau kesempatan untuk sekolah lebih tinggi. Hal tersebut melahirkan faham baru yang dikenal dengan feminism.
Gender di era global berkaitan dengan kesadaran, tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk hak dalam pendidikan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan, yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan, kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakan jenis kelamin.
 

DAFTAR PUSTAKA
Alison M. Jaggar and Paula S. Rothenberg. (1993). Feminist Frameworks, Cet. III. New York: McGraw-Hill.
Arthur M. Schlesinger Jr. , (1991). The Sisuniting of America. Knoxville : Whittle Books.
Cavallaro, Dani. (2004). Critical and Cultural Theory, terj. Laily Rahmawati. Yogyakarta : Niagara
Elizabeth V. Spelman. (1988). Inessential Woman: Problems of Exclusion in Feminisme Thought Boston: Beacon Press.
Husna, Fauziatul._____. Analisis Sejarah Perkembangan Feminisme di Indonesia dalam Kacamata Teori Habitus Pierre Bourdieu. Tidak diterbitkan
Prabasmoro, Aquarini Priyatna. 2006. Kajian Budaya Feminis tubuh, sastra dan pop. Yogyakarta : Jalasutra.
Ratna, Nyoman Kutha. (2004) Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tong, Rosemarie Putnam. (1998). Feminist Thought : Pengantar paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, terj. Aquarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta : Jalasutra.