Alam
menyimpan sejuta potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kelangsungan hidup
manusia. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang saat ini, tidak
menutup kemungkinan potensi alam tersebut dapat dieksploitasi dengan lebih baik,
meskipun tidak menampik fakta bahwa tradisi leluhur terkadang masih bersifat tepat
guna dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan keefektifannya. Artinya,
tradisi tersebut masih relevan dengan perkembangan zaman sehingga keberadaannya
tetap dipertahankan hingga kini. Menurut Keraf
(2002), semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan,
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan
di dalam komunitas ekologi disebut kearifan tradisional yang harus terus digali
dan dikembangkan agar kelestariannya tetap terjaga. Adapun menurut Moendardjito
dalam Fatmawati (2014), tradisi dapat berkembang menjadi kearifan tradisional
apabila mampu bertahan terhadap budaya luar, memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar, mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar
ke dalam budaya asli, mempunyai kemampuan mengendalikan, dan mampu memberi arah
pada perkembangan budaya.
Salah
satu bentuk kearifan tradisional yang cukup dikenal oleh masyarakat adalah
penggunaan lerak sebagai sabun tradisional. Masyarakat jawa sudah lama
memanfaatkan buah ini untuk digunakan sebagai sabun tradisional. Pada zaman
dulu buah ini sering dimanfaatkan untuk mencuci berbagai benda yang terbuat
dari logam seperti keris dan benda lainnya, selain benda logam buah ini juga
sering digunakan untuk mencuci benda yang terbuat dari kain seperti batik.
Salah
satu tradisi yang melibatkan penggunaan buah lerak adalah mewarangi dan
memandikan keris. Beberapa keris yang memiliki nilai historis dan spiritual
yang tinggi dalam proses memandikan dan mewarangi harus pada waktu-waktu
tertentu. Seperti keris pusaka yang ada dikeraton Surakarta dan jogja biasanya
prosesi ini dilakukan setiap bulan suro (Muharam). Dalam pelaksanaan prosesi
ini selain buah lerak bahan-bahan yang digunakan semuanya bahan alam seperti
air kelapa hijau (digunakan untuk merendam keris), jeruk nipis digunakan dalam
proses mutihke (penggosokan bilah keris), marangi (pengolesan keris dengan
menggunakan cairan warangan), minyak alami digunakan untuk proses minyaki
(terbuat dari minyak tumbuhan, seperti akar wangi, gaharu, melati cendana).
Salah satu prosesi pencucian pusaka yang sampai sekarang bertahan tradisi dan
ritualnya adalah ritual jamasan.
Klasifikasi tumbuhan lerak adalah sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta,
Sub Divisi : Angiospermae,
Kelas : Dicotyledone,
Ordo : Sapindales,
Famili : Sapindaceae,
Genus : Sapindus,
Spesies : Sapindus rarak DC
Di Jawa tanaman ini tumbuh liar, tinggi tanaman dapat mencapai 42 m dan mempunyai diameter batang 1 m. Tanaman ini mempunyai nama yang berbeda pada setiap daerah, seperti di Palembang disebut lamuran, di Jawa lerak dan di Jawa Barat sering disebut rerek. Lerak biasa tumbuh liar di hutan dengan tinggi 15 - 42 m dengan diameter batang 1 m dan tumbuh rindang, bentuk. Tanaman ini mempunyai bunga majemuk tidak terbatas (inflorescentia centripetala) dimana bunga mekar dari bawah ke atas sehingga berbentuk tandan dengan tangkai bunga tumbuh dari ujung batang.
Buah lerak merupakan buah tunggal berbentuk bulat dengan diameter 2 cm,biji dilindungi oleh kulit biji dengan warna kulit biji berwarna hijau, bila telah masak berwarna cokelat bila dikeringkan berwarna hitam. Biji bersama kulitnya bila direndam akan mengeluarkan busa arena kulit biji banyak mengandung saponin (28%), sehingga dapat digunakan dalam pembuatan sabun, obat cuci rambut dan berbagai alat kosmetika. Lingkungan tumbuh Tanaman lerak paling sesuai pada iklim tropik dengan kelembaban tinggi, berdrainase baik, subur dan mengandung banyak humus.
Lerak tumbuh pada ketinggian di bawah 1.500 m di atas permukaan laut, dengan pertumbuhan paling baik pada daerah berbukit dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m di atas permukaan laut, curah hujan rata-rata 1.250 mm/tahun. Lerak termasuk dalam kelas Dicotyledone,berakar tunggang dengan perakaran yang kompak. Oleh karena itu tanaman ini dapat digunakan sebagai pengendali erosi dan penahan angin, sebagai tanaman pekarangan yang agak jauh dari rumah. Tanaman mulai berbuah pada umur 5 - 15 tahun, musim berbuah pada awal musim hujan dan menghasilkan biji sebanyak 1.000 - 1.500 biji.
Tanaman lerak mempunyai bentuk daun majemuk, menyirip ganjil anak daun bentuk lanset (lanceolatus), bentuk ujung daun runcing, pangkal daun tumpul, tepi rata, dengan panjang 5 - 18 cm, lebar 2,5 - 3,0 cm, bertangkai pendek dan berwarna hijau. Lerak menghasilkan bunga dan buah yang tumbuh langsung dari kuncup dorman pada batang utama atau cabang utama. Bunga lerak berbentuk tandan (racemes), bunga majemuk, mahkota bentuk periuk (hypanthodium), warna kuning keputihan, mahkota empat dan kelopak lima. Penyebaran Tanaman lerak tersebar di berbagai daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Berdasarkan hasil penelitian yang dimuat di beberapa jurnal menyebutkan bahwa buah, kulit batang, biji, dan daun tanaman lerak mengandung polifenol, dan tanin. Menurut Widowati (2003) dalam Syahroni (2013), saponin terdapat pada semua bagian tanaman Sapindus dengan kandungan tertinggi terdapat pada bagian buah. Adapun persentase senyawa aktif pada buah lerak adalah sebagai berikut :
No |
Senyawa aktif |
Persentase senyawa aktif |
1 |
Saponin |
12 % |
2 |
Alkaloid |
1 % |
3 |
Ateroid |
0.036 % |
4 |
Triterpen |
0.029 % |
Saponin berasal dari bahasa latin Sapo yang berarti sabun karena sifatnya yang menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa kimia yang berasal dari metabolit sekunder yang banyak diperoleh dari tumbuh-tumbuhan. Struktur kimia saponin yang terdiri dari senyawa polar dan non-polar menjadikan buah lerak dikenal sebagai soapberry atau soapnut. Saponin memiliki sifat berasa pahit, berbentuk busa stabil dalam air, bersifat racun bagi hewan berdarah dingin (seperti : ikan, siput, dan serangga), dapat menstabilkan emulsi, dan menyebabkan hemolisis (rusaknya sel darah merah).
Menurut Sukmasari (2006), saponin temasuk glikosida yang apabila dihidrolisis akan menghasilkan sakarida (bersifat hidrofilik) dan sapogenin (bersifat lipofilik). Sapogenin terdiri dari dua golongan saponin steroid dan saponin triterpenoid. Adanya kandungan saponin yang bersifat hidrofilik dan lipofilik tersebut menjadikan buah lerak bersifat surfaktan sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku sabun.
PERANAN dan DAMPAK PEMANFAATAN BUAH LERAK TERHADAP LINGKUNGAN
Sudah
dijelaskan sebelumnya bahwasannya pemanfaatan buah lerak merupakan suatu bentuk
kearifan local yang sudah diterapkan sejak jaman dulu. Namun, kebiasaan mencuci
dengan menggunakan buah lerak lambat laun berkurang dan mulai ditinggalkan, hal
ini disebabkan adanya detergen yang disinyalir fungsinya sama dengan buah lerak
serta lebih praktis dalam pemakaiannya.
Detergen
merupakan limbah pemukiman yang paling potensial mencemari air. Limbah detergen
ini sangat susah diuraikan oleh bakteri, sehingga limbah ini akan tetap ada
untuk jangka waktu yang lama. Penggunaan detergen secara besar-besaran dapat
meningkatkan senyawa posfat pada air sungai dan sumber yang tercemarinya. Senyawa
fosfat ini dapat merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan
tanaman tersebut tanpa terkendali dapat mengakibatkan sungai atau sumber air
tersebut tertutupi oleh pertumbuhannya, sehingga dapat menghalangi masuknya
cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis pada
fitoplankton. Jika tumbuhan atau fitoplankton ini mati, akan mengakibatkan
terjadi pembusukan yang menghabiskan persediaan oksigen dalam air.
Berbeda dengan detergen, buah lerak (Sapindus rarak) memiliki sifat ramah lingkungan. Busa/buih yang dihasilkan oleh buah ini berasal dari biji dan buahnya yang mengandung saponin. Saponin dalam buah lerak dapat berfungsi sebagai sabun alami karena ia menghasilkan glikosid yang dapat berbuih dengan indeks busa yang tinggi apabila digoncangkan. Glikosid alami dari saponin dibagi menjadi dua jenis yaitu glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid. Kedua jenis saponin ini mempunyai sifat larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut pada eter. Glikosid triterpenoid alkohol atau saponin triterpernoid alkohol merupakan penyusun utama buah lerak. Saponin pada daging buah lerak yang mempunyai sifat larut pada air dan berbuih tinggi dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai sabun alami tanpa bahan kimia sama sekali.
Zat
saponin ini dapat diuraikan dengan baik oleh mikroorganisme di lingkungan
sehingga tidak mencemari air sungai berbeda dengan detergen, busa pada detergen
memiliki kandungan surfaktan anionic linear alkylbenzene sulfonate (LAS).
Akumulasi konsentrasi LAS yang melampaui ambang batas tersebut bersifat toksik bagi berbagai
organisme akuatik.
Saat
ini penggunaan lerak masih jarang digunakan oleh lapisan masyarakat. Penggunaan
lerak hanya digunakan sebatas pencucian barang-barang tertentu saja seperti kain
batik klasik, perkakas antik yang terbuat dari logam seperti kuningan, tembaga
atau keris. Pemanfaatan lerak sebenarnya dapat digunakan untuk berbagai hal
seperti untuk mencuci pakaian, mencuci barang-barang rumah tangga, mencuci
jendela, mencuci badan dan wajah dan masih banyak lagi pemanfaatannya. Jika
penggunaan pembersih atau sabun yang mengandung detergen diganti dengan sabun
tradisional lerak, limbah domestik yang dihasilkan tentu akan berkurang.
Korelasinya jika limbah domestic berkurang tentu pencemaran air atau sumber air
pun akan berkurang juga.
Pemanfaatan
buah lerak sebagai sabun tradisional ini diharapkan dapat menjadi salah satu
aksi solusi dalam mengatasi masalah pencemaran air. Dengan menggunakan aksi ini
berarti kita ikut serta dalam
menjaga kelestarian lingkungan dan melestarikan tradisi
nenek moyang karena mengembalikan
kebiasaan masyarakat dahulu yang memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai bahan
pencuci alami (back to nature).
DAFTAR PUSTAKA
Agustiningsih,
Dyah, Setiabudi, S. & Sudarno. (2012). Analisis Kualitas Air dan Strategi
Pengendalian Pencemaran Air Sungai Blukar Kabupaten Kendal. Jurnal Persipitasi.
9(2), pp. 64-71.
Fatmawati,
Ira. (2012). Efektivitas Buah Lerak (Sapindus
rarak De Candole) Sebagai Bahan Pembersih Logam Perak, perunggu dan Besi.
Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur. 8(2),
pp.24-31.
Kementerian
Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2010). Status Lingkungan Hidup Indonesia
2010. Jakarta : Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.
Keraf,
S. A. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta : Kompas Press.
Rohmat,
Dede. (2010). Upaya Konservasi untuk Kesinambungan Ketersediaan Sumber Daya Air
(Kasus : DAS Citarum). Disajikan pada Talk Show Hari Air “Air untuk Kehidupan
Manusia”, 22 Maret 2010, Mahacita UPI : Bandung.
Syahroni,
Yan Yanuar & Djoko Prijono. (2013). Aktivitas Insektisida Ekstrak Buah Piper aduncum L. (Piperaceae) dan Sapindus rarak (Sapindaceae) serta
Campurannya terhadap Larva Crocidolomia
pavonana (Lepidoptera : Crambidae). Jurnal Entomologi Indonesia. 10(1). Pp. 39-50.
Sukmasari,
May dan Tjitjah Fatimah. (2006). Analisis Kadar Saponin dalam Daun Kumis Kucing
Dengan Menggunakan Metode TLC-Scanner.
Jurnal Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan.