Indonesia
dianugerahi kekayaan alam melimpah dengan bonus letak geografis yang strategis
di iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi serta tanah yang subur menjadi
alasan negara kita dikenal dengan negara agraris. Banyak jenis tanaman tumbuh
di bumi Nusantara ini, diantaranya berbagai macam rempah yang menjadi daya
tarik para pedagang asing seperti Arab, Cina, Eropa untuk singgah dan berniaga
di bumi Nusantara ini. Tanaman rempah endemik yang menarik minat pedagang
diantaranya adalah cengkeh, pala, kemiri yang tumbuh di area Nusantara bagian
timur seperti kepulauan Maluku Utara, pulau Maluku, pulau Banda. Selain itu
juga, tidak hanya tanaman rempah endemik, tanaman luar yang sudah dibudidayakan
ribuan tahun yang lalu seperti lada menjadi magnet tersendiri bangsa asing
untuk berniaga di Bumi Nusantara. Lada merupakan salah satu rempah yang
dihasilkan di kepulauan Nusantara. Rempah ini tampaknya diperkenalkan sebelum
abad ke-14 oleh para pedagang dari India (terutama Malabar) di beberapa tempat
di bagian utara Pulau Sumatera, bersamaan dengan penyebaran agama Islam
(Lombard, 2006: 59 dalam Soedewo, 2007).
Piper
nigrum atau lada dikenal sebagai The king of spices
atau Raja Rempah, predikat ini disematkan karena lada merupakan jenis rempah
yang paling sering ditambahkan untuk bumbu masakan pada segala jenis makanan
dibandingkan dengan tanaman obat (Endraswara, 2020). Kandungan piperine
dan piperidine yang menyebabkan rempah ini memiliki aroma dan rasa pedas
yang khas dan kuat sehingga membuat rasa makanan menjadi enak dan lezat.
Lada
memberikan cita rasa yang hangat dan aroma yang khas sehingga membuat rasa
makanan menjadi enak dan lezat seperti pada sajian makanan rabeg. Rabeg
merupakan makanan khas dari Banten yang disajikan khusus pada saat maulid nabi
Muhammad SAW (Rizki et al, 2012). Makanan ini merupakan menu dari kesultanan
Banten dan disukai oleh sultan Banten salah satunya Sultan Maulana Hasanudin.
Kesultanan Banten sangat erat kaitannya dengan rempah lada dan salah satu
menjadi denyut perekonomian penyumbang kas kerajaan. Teluk Lada menjadi saksi
bisu sebagai pusat pelabuhan antar bangsa dan kegiatan perniagaan antar
kerajaan bermula disini.
Keberadaan
lada dibumi nusantara diperkirakan sejak abad ke-13, kala itu dalam ekspedisi
Marco Polo ke Nusantara melaporkan suasana di Jawa berlimpah ruah dengan
komoditas lada, pala, kemukus, cengkeh serta jenis rempah lainnya (Rahman, 2019).
Tersirat juga dalam prasasti Biluluk (1366 M) komoditi yang
diperdagangkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari adalah kelapa, kesumba
(pewarna batik), buah mengkudu, kacang-kacangan, lada, dan tebu di zaman
kerajaan Majapahit (Anwari, 2015). Selain itu juga tanaman lada disebutkan dalam
Serat Centhini bahwa lada selain dapat digunakan sebagai bumbu dapur juga
digunakan sebagai tanaman obat (Sukenti et al, 2004).
Banyak
ditemukan tanaman lada tua seperti di desa Pandat, Pandeglang Banten, hal ini
sejalan dengan bukti dokumen kuno Belanda tahun 1800-an yang menyebut 180
daerah di Banten di sekitar Gunug Karang, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan
merupakan penghasil lada (Wibisono, 2020). Kebutuhan lada di era tersebut
sangat tinggi dan pasokan utama biji rempah tersebut terpusat di kerajaan
Banten. Kebutuhan lada di Eropa pada abad 16 sekitar dua juta ton dan terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1522 Banten mengekspor 1000 bahar (1
bahar = 206 kg) lada setiap tahun ke berbagai penjuru dunia, terutama ke Cina
dan Eropa (Chris, 1881: 4 dalam Untoro, 2006: 167 dalam Soedewo, 2007). Sumber
lada ini didapatkan dari kebun-kebun lada kampung pedalaman di wilayah
kekuasaan kerjaan Banten. Karena kebutuhannya meningkat area perkebunan pun
diperluas tidak hanya terpusat diwilayah Jawa dan sekitar Banten saja namun
meluas sampai ke wilayah di pulau Sumatera seperti Lampung, Palembang dan
Bengkulu (Untoro, 2006: 167 dalam Soedewo, 2007).
Tersirat
dalam prasasti Dalung Bojong, secara garis besar prasasti ini berisi sejumlah peraturan
yang ditujukan bagi pejabat dan rakyat di daerah Sekampung (Lampung), di
antaranya mengenai tata pelayaran dan perniagaan lada, dan instruksi penanaman
lada. Prasasti
Dalung Bojong merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kesultanan Banten berisi
perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh pejabat dan rakyat Sekampung (Wijayati,
2011). Hal ini menegaskan bahwa lada tidak hanya sekedar komoditas rempah saja
namun dapat dijadikan sebagai alat diplomasi. Hubungan diplomasi ini memberikan
dampak produktivitas lada meningkat.
Rasa
hangat lada juga menciptakan suatu ikatan yang erat bentuk hubungan diplomasi
antara kesultanan Banten yang diwakili oleh sultan Banten ke-15 Sultan Abu
Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin dengan kerajaan Inggris yang diwakilkan
oleh Gubernur Jenderal Johanes Sieberg. Kesultanan Banten menghadiahkan 50 bahar
lada hitam kepada Gubernur Jenderal Johanes Sieberg sebagai ucapan terima
kasih karena telah mengutus Edeleer Wouter Hendrik van Ijseldijk yang telah
mengangkat Sultan Abu Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin sebagai sultan
Banten ke-15 (Pudjiastuti, 2007).
Tidak
hanya kuantitas dan produktivitasnya saja lada Nusantara memiliki kualitas yang
baik. Tidak heran jika Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau
persekutuan dagang Belanda berusaha untuk memonopoli perniagaan rempah
Nusantara termasuk lada. Segala macam cara salah satunya melalui politik adu
domba sehingga terjadi kehancuran kesultanan Banten serta kerajaan-kerajaan
lainnya di Nusantara.
Butiran-butiran
rempah pedas ini siapa sangka dapat merubah tatanan peradaban mulai dari zaman
kesultanan Banten, kolonial VOC, sampai pemerintahan Hindia Belanda. Harmonisasi
yang menciptakan tatanan strata yang khas mulai dari para petani kebun lada,
pengepul sampai pusat pengelola kualitas lada Nusantara sampai berakhir dalam
padanan penyedap makanan atau berakhir dalam racikan farmasi masing-masing
memberikan kebermanfaatan tersendiri. Butiran rempah pedas ini pun selain bisa
menyatukan cita rasa yang lezat yang dapat membangkitkan kebersamaan dalam meja
makan atau sekedar balakecrakan bersama, juga dapat menyebabkan konflik dalam
peradaban karena keegoan untuk memonopoli keberadaannya demi kemakmuran
golongan tertentu saja.
Saat
ini kebutuhan lada dunia meningkat, namun produktivitas lada di Indonesia
terjadi penurunan yang sebelumnya dimasa kejayaan sempat mencapai 2 ton
perhektar saat ini hanya 0,66 ton perhektar (Kurnianto et al, 2016). Padahal kualitas
lada Indonesia sudah memperoleh sertifikat indikasi geografi (SIG) yaitu
pengakuan internasional atas karateristik cita rasa dan aroma yang khas kualitas
untuk Lampong Black pepper dan Muntok white pepper. Dengan
mendapatkan pengakuan tersebut diharapkan produktivitas rempah lada akan
kembali berjaya.
Daftar
Pustaka:
Anwari, Ikhsan Rosyid Mujahidul. 2015.
Sistem Perekonomian Kerajaan Majapahit. VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3,
No.2 Juni 2015 hlm. 104–115. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2021.
Endraswara, Suwardi. 2020. Botani Sastra
sebagai Penangkal Disrupsi. Humaniora dan Era Disrupsi Seminar Nasional Pekan
Chairil Anwar kerja sama FIB Universitas Jember, HISKI Jember, dan ATL Jember.
Vol. 1, No. 1. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.
Kurnianto, Dini Tri, Suharyono, dan Kholid
Mawardi. 2016. Daya Saing Komoditas Lada Indonesia di Pasar Internasional (Studi
Tentang Ekspor Lada Indonesia Tahun 2010-2014). Jurnal Administrasi Bisnis
(JAB)|Vol. 40 No. 2 November 2016|. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2021.
Rahman, Fadly. 2019. “Negeri
Rempah-Rempah” Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah.
Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242. Diakses pada tanggal 28
Agustus 2021.
Rizki, R., T. Wibisono. 2012. Mengenal
Seni dan Budaya Indonesia. Jakarta : CIF (Penebar Swadaya Grup).
Soedewo, Ery. 2007. Lada Si Emas Panas:
Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Historisme. Edisi
No. 23/Tahun XI/Januari 2007. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.
Sukenti, Kurniasih., Edy Guhardja., Y.
Purwanto. 2004. Kajian Etnobotani Serat Centhini. Journal of Tropical
Ethnobiology. Vol I (1) : 83-100. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2021.
Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang,
Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Wibisono, SC. 2020. Melacak Jejak Jalur
Rempah melalui Arsip, Naskah Kuno, dan Artefak. Seminar Online tanggal 5
Desember 2020.
No comments:
Post a Comment