Thursday, 9 December 2021

Romansa Lada Nusantara di Ujung Barat Jawa

Indonesia dianugerahi kekayaan alam melimpah dengan bonus letak geografis yang strategis di iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi serta tanah yang subur menjadi alasan negara kita dikenal dengan negara agraris. Banyak jenis tanaman tumbuh di bumi Nusantara ini, diantaranya berbagai macam rempah yang menjadi daya tarik para pedagang asing seperti Arab, Cina, Eropa untuk singgah dan berniaga di bumi Nusantara ini. Tanaman rempah endemik yang menarik minat pedagang diantaranya adalah cengkeh, pala, kemiri yang tumbuh di area Nusantara bagian timur seperti kepulauan Maluku Utara, pulau Maluku, pulau Banda. Selain itu juga, tidak hanya tanaman rempah endemik, tanaman luar yang sudah dibudidayakan ribuan tahun yang lalu seperti lada menjadi magnet tersendiri bangsa asing untuk berniaga di Bumi Nusantara. Lada merupakan salah satu rempah yang dihasilkan di kepulauan Nusantara. Rempah ini tampaknya diperkenalkan sebelum abad ke-14 oleh para pedagang dari India (terutama Malabar) di beberapa tempat di bagian utara Pulau Sumatera, bersamaan dengan penyebaran agama Islam (Lombard, 2006: 59 dalam Soedewo, 2007).

Piper nigrum atau lada dikenal sebagai The king of spices atau Raja Rempah, predikat ini disematkan karena lada merupakan jenis rempah yang paling sering ditambahkan untuk bumbu masakan pada segala jenis makanan dibandingkan dengan tanaman obat (Endraswara, 2020). Kandungan piperine dan piperidine yang menyebabkan rempah ini memiliki aroma dan rasa pedas yang khas dan kuat sehingga membuat rasa makanan menjadi enak dan lezat.

Lada memberikan cita rasa yang hangat dan aroma yang khas sehingga membuat rasa makanan menjadi enak dan lezat seperti pada sajian makanan rabeg. Rabeg merupakan makanan khas dari Banten yang disajikan khusus pada saat maulid nabi Muhammad SAW (Rizki et al, 2012). Makanan ini merupakan menu dari kesultanan Banten dan disukai oleh sultan Banten salah satunya Sultan Maulana Hasanudin. Kesultanan Banten sangat erat kaitannya dengan rempah lada dan salah satu menjadi denyut perekonomian penyumbang kas kerajaan. Teluk Lada menjadi saksi bisu sebagai pusat pelabuhan antar bangsa dan kegiatan perniagaan antar kerajaan bermula disini.

Keberadaan lada dibumi nusantara diperkirakan sejak abad ke-13, kala itu dalam ekspedisi Marco Polo ke Nusantara melaporkan suasana di Jawa berlimpah ruah dengan komoditas lada, pala, kemukus, cengkeh serta jenis rempah lainnya (Rahman, 2019). Tersirat juga dalam prasasti Biluluk (1366 M) komoditi yang diperdagangkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari adalah kelapa, kesumba (pewarna batik), buah mengkudu, kacang-kacangan, lada, dan tebu di zaman kerajaan Majapahit (Anwari, 2015). Selain itu juga tanaman lada disebutkan dalam Serat Centhini bahwa lada selain dapat digunakan sebagai bumbu dapur juga digunakan sebagai tanaman obat (Sukenti et al, 2004).

Banyak ditemukan tanaman lada tua seperti di desa Pandat, Pandeglang Banten, hal ini sejalan dengan bukti dokumen kuno Belanda tahun 1800-an yang menyebut 180 daerah di Banten di sekitar Gunug Karang, Gunung Pulosari, dan Gunung Aseupan merupakan penghasil lada (Wibisono, 2020). Kebutuhan lada di era tersebut sangat tinggi dan pasokan utama biji rempah tersebut terpusat di kerajaan Banten. Kebutuhan lada di Eropa pada abad 16 sekitar dua juta ton dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1522 Banten mengekspor 1000 bahar (1 bahar = 206 kg) lada setiap tahun ke berbagai penjuru dunia, terutama ke Cina dan Eropa (Chris, 1881: 4 dalam Untoro, 2006: 167 dalam Soedewo, 2007). Sumber lada ini didapatkan dari kebun-kebun lada kampung pedalaman di wilayah kekuasaan kerjaan Banten. Karena kebutuhannya meningkat area perkebunan pun diperluas tidak hanya terpusat diwilayah Jawa dan sekitar Banten saja namun meluas sampai ke wilayah di pulau Sumatera seperti Lampung, Palembang dan Bengkulu (Untoro, 2006: 167 dalam Soedewo, 2007).

Tersirat dalam prasasti Dalung Bojong, secara garis besar prasasti ini berisi sejumlah peraturan yang ditujukan bagi pejabat dan rakyat di daerah Sekampung (Lampung), di antaranya mengenai tata pelayaran dan perniagaan lada, dan instruksi penanaman lada. Prasasti Dalung Bojong merupakan prasasti yang dikeluarkan oleh Kesultanan Banten berisi perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh pejabat dan rakyat Sekampung (Wijayati, 2011). Hal ini menegaskan bahwa lada tidak hanya sekedar komoditas rempah saja namun dapat dijadikan sebagai alat diplomasi. Hubungan diplomasi ini memberikan dampak produktivitas lada meningkat.

Rasa hangat lada juga menciptakan suatu ikatan yang erat bentuk hubungan diplomasi antara kesultanan Banten yang diwakili oleh sultan Banten ke-15 Sultan Abu Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin dengan kerajaan Inggris yang diwakilkan oleh Gubernur Jenderal Johanes Sieberg. Kesultanan Banten menghadiahkan 50 bahar lada hitam kepada Gubernur Jenderal Johanes Sieberg sebagai ucapan terima kasih karena telah mengutus Edeleer Wouter Hendrik van Ijseldijk yang telah mengangkat Sultan Abu Nashr Muhammad Ishaq Zainal Muttaqin sebagai sultan Banten ke-15 (Pudjiastuti, 2007).

Tidak hanya kuantitas dan produktivitasnya saja lada Nusantara memiliki kualitas yang baik. Tidak heran jika Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau persekutuan dagang Belanda berusaha untuk memonopoli perniagaan rempah Nusantara termasuk lada. Segala macam cara salah satunya melalui politik adu domba sehingga terjadi kehancuran kesultanan Banten serta kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara.

Butiran-butiran rempah pedas ini siapa sangka dapat merubah tatanan peradaban mulai dari zaman kesultanan Banten, kolonial VOC, sampai pemerintahan Hindia Belanda. Harmonisasi yang menciptakan tatanan strata yang khas mulai dari para petani kebun lada, pengepul sampai pusat pengelola kualitas lada Nusantara sampai berakhir dalam padanan penyedap makanan atau berakhir dalam racikan farmasi masing-masing memberikan kebermanfaatan tersendiri. Butiran rempah pedas ini pun selain bisa menyatukan cita rasa yang lezat yang dapat membangkitkan kebersamaan dalam meja makan atau sekedar balakecrakan bersama, juga dapat menyebabkan konflik dalam peradaban karena keegoan untuk memonopoli keberadaannya demi kemakmuran golongan tertentu saja.

Saat ini kebutuhan lada dunia meningkat, namun produktivitas lada di Indonesia terjadi penurunan yang sebelumnya dimasa kejayaan sempat mencapai 2 ton perhektar saat ini hanya 0,66 ton perhektar (Kurnianto et al, 2016). Padahal kualitas lada Indonesia sudah memperoleh sertifikat indikasi geografi (SIG) yaitu pengakuan internasional atas karateristik cita rasa dan aroma yang khas kualitas untuk Lampong Black pepper dan Muntok white pepper. Dengan mendapatkan pengakuan tersebut diharapkan produktivitas rempah lada akan kembali berjaya.

Daftar Pustaka:

Anwari, Ikhsan Rosyid Mujahidul. 2015. Sistem Perekonomian Kerajaan Majapahit. VERLEDEN : Jurnal Kesejarahan, Vol. 3, No.2 Juni 2015 hlm. 104–115. Diakses pada tanggal 26 Agustus 2021.

Endraswara, Suwardi. 2020. Botani Sastra sebagai Penangkal Disrupsi. Humaniora dan Era Disrupsi Seminar Nasional Pekan Chairil Anwar kerja sama FIB Universitas Jember, HISKI Jember, dan ATL Jember. Vol. 1, No. 1. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.

Kurnianto, Dini Tri, Suharyono, dan Kholid Mawardi. 2016. Daya Saing Komoditas Lada Indonesia di Pasar Internasional (Studi Tentang Ekspor Lada Indonesia Tahun 2010-2014). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB)|Vol. 40 No. 2 November 2016|. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2021.

Rahman, Fadly. 2019. “Negeri Rempah-Rempah” Dari Masa Bersemi Hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah. Patanjala, ISSN 2085-9937 (print), ISSN: 2598-1242. Diakses pada tanggal 28 Agustus 2021.

Rizki, R., T. Wibisono. 2012. Mengenal Seni dan Budaya Indonesia. Jakarta : CIF (Penebar Swadaya Grup).

Soedewo, Ery. 2007. Lada Si Emas Panas: Dampaknya bagi Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Historisme. Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.

Sukenti, Kurniasih., Edy Guhardja., Y. Purwanto. 2004. Kajian Etnobotani Serat Centhini. Journal of Tropical Ethnobiology. Vol I (1) : 83-100. Diakses pada tanggal 25 Agustus 2021.

Pudjiastuti, Titik. 2007. Perang, Dagang, Persahabatan Surat-Surat Sultan Banten. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Wibisono, SC. 2020. Melacak Jejak Jalur Rempah melalui Arsip, Naskah Kuno, dan Artefak. Seminar Online tanggal 5 Desember 2020.

Wijayati, Mufliha. 2011. Jejak Kesultanan Banten di Lampung Abad XVII. Analisis. Volume XI No.2/ Desember 2011. Diakses pada tanggal 27 Agustus 2021.

No comments:

Post a Comment